Sabtu, 24 Juni 2017

PENDERITAAN: MEMBANGUN ATAU MENJATUHKAN



            Saat ada seseorang mengalami suatu penderitaan akan ada beberapa orang yang beranggapan bahwa orang yang mengalami penderitaan tersebut sudah melakukan suatu dosa besar ataupun kecil. Sehingga orang tersebut mendapat hukuman yang setimpal dengan dosa mereka. Pertanyaan yang akan muncul adalah dosa apa yang telah dia perbuat sehingga Ia mengalami hal tersebut? Terlebih lagi dengan orang-orang yang memegang teguh prinsip pembalasan/ konsep retribusi yang memiliki pandangan taat kepada Tuhan mendapat berkat tidak taat mendapat kutuk (namun dalam tulisan ini kita tidak membahas prinsip pembalasan). Penderitaan akan dikaitan dengan dosa yang dilakukan, pertanyaannya adalah apakah semua penderitaan diakibatkan karena dosa yang sudah dilakukan?
           
 Dalam tulisan ini kita akan melihat penderitaan dari dua sudut pandang yaitu penderitaan: akibat dosa & penderitaan: bukan akibat dosa. Kita harus adil sebagai manusia untuk memandang suatu peristiwa, melihat dengan jujur dari berbagai sudut pandang dengan jujur, tanpa meminorkan yang mayor dan memayorkan yang minor, atau hanya menekankan salah satunya saja. Pertama-tama kita akan melihat penderitaan akibat dosa.

Penderitaan menimbulkan berbagai pertanyaan dalam kehidupan manusia, terutama kepada orang yang mengalami penderitaan itu. Pertanyaan klasik yang muncul adalah: mengapa aku? Lalu mempertanyakan keberadaan Tuhan, mempertanyakan kekuasaan Allah, bahkan dalam kondisi yangb paling akut yaitu tidak mempercayai keberadaan Allah lagi.  Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akan menjadikan diri  sang penderitaan menempati posisi di mana dia akan berfokus kepada diri sediri, mengasihani diri sendiri dan memandang paling benar diri sendiri dengan beranggapan bahwa dia tidak layak menerima penderitaan tersebut. Kondisi seperti ini akan menyebabkan manusia jauh dari Tuhan dan tahapan selanjutnya adalah akan menganggap Tuhan tidak ada. Ini merupakan cara Iblis mencuri kesempatan untuk emakin melemahkan manusia dan membawa manusia kedalam lubang penderitaan yang semakin dalam.
Lalu bagaimana kaitanya antra dosa dengan penderitaan? Saat manusia melakukan dosa terkadang manusia tidak terpikirkan akibat dari dosa yang manusia lakukan itu bertalian dengan penderitaan, manusia dibutakan sehingga kehilangan “kesadaran” akan hukuman yang harus diterima. Saat berbuat dosa manusia akan mencari standar untuk pembenaran diri supaya manusia itu layak melakukan dosa itu adalah dengan melihat orang lain/ orang banyak yang melakukan dosa. Perbuatan orang lain menjadi acuan untuk memantaskan diri supaya dapat melakukan dosa itu, dengan melihat banyak temannya maka individu memiliki dorongan keberanian untuk melakukan dosa karena memiliki asumsi dasar bukan hanya saya yang melakukannya.
            Saat seseorang berbuat dosa maka konsekuensi dari dosa tersebut sudah berlaku. Manusia berbuat dosa itu adalah posisi dimana manusia menggunakan hak atau kebebasannya untuk berbuat dosa, namun yang harus disadari juga adalah pada saat yang sama manusia telah membuang haknya untuk melakukan kebenaran. Manusia harus mempertanggung jawabkan setiap apa yang telah dilakukan.
Bertentangan penderitaan akibat dosa, kita melihat dari sudut pandang yang berbeda mengenai penderitaan bukan akibat dosa. Kita tidak dapat memvonis orang yanng mengalami penderitaan itu adalah akibat dari hukuman yang setimpal dengan perbuatan dosa. Jika pandangan orang yang berdosa harus menerima hukuman dalam bentuk penderitaannya karena perbuatan dosanya itu merupakan teori atau pandangan  yang sudah biasa, namun jika sebaliknya penderitaan itu tidak disebabkan karena dosa namun orang itu mengalami penderitaan juga. Ini merupakan suatu paradoks yang dapat membingungkan, jika kita dapat rumuskan, orang berdosa = menderita dan orang tidak berdosa=  menderita, kesimpulannya adalah orang berdosa dan tidak berdosa sama-sama menderita. Jika seperti ini maka dapat dikatakan Allah tidak adil. Karena orang berdosa dan tidak berdosa memiliki tindakan yang tidak sama namun kesimpulannya tetap sama yaitu sama-sama mengalami penderitaan. Dalam rumusan tersebut ada hal yang sangat mencolok yaitu penderitaan orang berdosa itu adalah sebagai hukuman, sementara penderitaan norang tidak berdosa itu bukanlah sebuah hukuman, sekalipun mereka sama-sama menderita namun esensi dari menderita itu sangat jauh berbeda.
Penjelasan mengenai orang tidak berdosa namun mengalami penderitaan dapat terlihat jelas dari kisah Ayub yang menjadi acuan bahwa tidak semua penderitaan itu akibat dosa. Pembelaan Ayub terhadap tuduhan-tuduhan dari teman-temannya berusaha mematahkan teori-teori yang sudah lama terbangun di pikiran teman-teman Ayub dan juga pikiran “manusia” dari masa ke masa dan membuktikan bahwa tidak semua orang yangb menderita itu karena dosa.
Dari penderitaan yang tidak pada tempatnya yang Ayub alami memberikan penguatan bagi orang-orang yang saat ini menderita. Dalam penderitaannya Ayub tetap dappat memuji Tuhan dengan mulutnya menggunakan lututnya untuk menyembah. Penderitaan yang tidak dia mengerti karena penderitaan itu sangat bertentangan dengan konsep yanng sudah dipahami dari turun temurun, namun konsep itu berbalik derastis saat kondisi itu dialami oleh orang yang tidak berdosa seperti Ayub. Namun di dalam ketidak mengertian Ayub mengapa hal itu terjadi ada satu hal yang Ayub pahami yaitu bahwa Tuhan adalah Tuhan yang tidak mungkin tidak baik kepada dirinya. Dari ketidak tahuannya, ayub memahami bahwa Tuhan mempunyai suatu pengertian yang benar yang tidak ia ketahui.                  
Penderitaan yang Ayub alami tidak mengganggu keimanan Ayub. Ayub menjadi perwakilan bagi orang-orang yang baik yang menderita, dan merupakan pembalikan teori usang yang telah lama diyakini banyak orang. Pertanyaan- pertanyaan seputar penderitaan sangat panjang jika dibahas dan didebatkan,di manakah Allah saat kita sedang mempertanyakan dan mendebatnya? Allah diam terhadap semua perdebatan itu, namun saat Allah berdiam bukan berarti Allah tidak ada. Saat manusia mengoceh, mempertanyakan tentang keadaanya dan Allah diam, sesungguhnya itu Allah sedang memperhatikan ocehan manusia, dalam diamnya Allah adalah diam yang aktif bukan diam yang pasif diamnya Allah terus memperhatikan manusia yang mengalami penderitaan.
Hal yang penting yang harus kita pahami mengenai penderitaan adalah apakah penderitaan itu membangun atau menjatuhkan? Jawaban dari pertanyaan tersebut terletak pada respon dari masing-masing manusia. Respon yang manusia berikan terhadap penderitaan itu yang menunjukan nilai dari menusia dihadapan Tuhan. Jika melihat pribadi Ayub yang mengalami penderitaan respon Ayub begitu luar biasa, Ayub 2:10 menunjukan kualitas kehidupan Ayub yang sangat tinggi, dia tidak hanya ingin menerima yang baik saja dari Tuhan namun juga dia mau menerima  yang tidak baik, Ayub menjunjung tinggi kedaulatan Allah atas hidupnya. Respon yang Ayub berikan atas penderitaan itu bukan tanpa dasar, Ayub mengerti bahwa penderitaan itu merupakan pencobaan[1]   yang menguji dia setelah dia melewati itu semua ia akan seperti emas murni seperti emas (Ayb. 23:10).    Respon manusia terhadap Allah yang mengizinkan penderitaan dialami oleh manusia sangat jelas mengikis keakuan/keegoisan dalam diri  manusia itu sendiri dan membawa manusia menuju kepada kesempurnaan yang luar biasa. Melalui penderitaan yang diresponi dengan dengan benar akan mendatangkan suatu penghiburan, karena orang yang tidak melalui penderitaan tidak mempunyai pengertian tentang apakah maksud Tuhan melalui penderitaan itu. Penderitaan itu memberikan pengertian tentang penghiburan, seseorang tidak akan mengerti betapa perlunya terang jika seseorang tersebut tidak pernah berada di tempat yang sangat gelap tanpa secerca cahaya sedikitpun.
Semakin seseorang banyak mengalami penderitaan semakin banyak ia mempelajari hal baik melalui penderitaan itu, dari pelajaran yang diperolehnya semakin banyak kekuatan yang ia peroleh, dari apa yang dia peroleh orang tersebut akan mentranferkan kekuatan kepada orang lain yang juga mengalami penderitaan, dan orang tersebut menjadi alat Tuhan untuk kemuliaan nama-Nya. Penderitaan dan penghiburan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana dua sisi mata uang koin. Penderitaan bukan bertujuan untuk menjatuhkan atau menghancurkan kita, Iblislah yang mengambil kesempatan untuk menjatuhkan dan menghancurkan manusia supaya manusia salah dalam meresponi pernderitaan. Respon yang benar terhadap penderitaan harus kita dasari bahwa segala sesuatunya mendatangkan kebaikan. Penderitaam tidak akan menghancurkan hubungan dengan Tuhan jika kita memiliki cinta kepada Tuhan, maka kita akan melewati penderitaan itu dengan pandangan tertuju kepada Tuhan dan mengetahui apa yang Tuhan sediakan itu lebih indah dari berbagai hal yang kita miliki selama di bumi ini. Oleh karena itu banyaknya penderitaan yang kita alami tidak membuat kita putus asa, lemah dan tidak berpengharapan, namun sebaliknya banyaknya penderitaan itu menjadikan kita semakin kuat dan menjadi saluran pengutan untuk orang lain. Saat seseorang mengalami penderitaan yang begitu luar biasa pada saat itulah Tuhan sedang memakai orang tersebut untuk menjadi alat di tangan Tuhan untuk menyalurkan berkat kepada orang lain. Dalam kondisi seperti inilah penderitaan menjadi suatu alat yang membangun bukan yang menjatuhkan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         



[1] Dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani, kata ‘percobaan’ dijelaskan berasal dari kata benda ‘massa’ atau kata kerja ‘masa’ atau ‘pakan’.  Kata ‘massa’ berarti cobaan atau ujian. Sedangkan kata kerja ‘masa’ berarti mencoba atau menguji. Kata ‘pakan’ sendiri berarti menguji, melebur atau membersihkan logam. Dengan melihat penjelasan dari bahasa aslinya kita dapat melihat maksud dari pencobaan ini adalah memiliki tujuan yaitu  Mencapai  nilai tertinggi, seperti pencapaian nilai tertinggi  dari logam yakni emas. Bila logam itu ternyata bukan emas, ia akan lebur dan habis. Hanya emas sebagai logam mulia yang tahan bakar, yang tahan uji. Dalam bahasa Yunani pencobaan berasal dari kata benda ‘persmon’ dan kata kerja ‘perason’. ‘Perason’ sama dengan kata pakan dalam bahasa Ibrani yaitu melebur, membersihkan atau menguji logam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar