Saat ada seseorang mengalami suatu
penderitaan akan ada beberapa orang yang beranggapan bahwa orang yang mengalami
penderitaan tersebut sudah melakukan suatu dosa besar ataupun kecil. Sehingga orang
tersebut mendapat hukuman yang setimpal dengan dosa mereka. Pertanyaan yang
akan muncul adalah dosa apa yang telah dia perbuat sehingga Ia mengalami hal
tersebut? Terlebih lagi dengan orang-orang yang memegang teguh prinsip
pembalasan/ konsep retribusi yang memiliki pandangan taat kepada Tuhan mendapat
berkat tidak taat mendapat kutuk (namun dalam tulisan ini kita tidak membahas
prinsip pembalasan). Penderitaan akan dikaitan dengan dosa yang dilakukan,
pertanyaannya adalah apakah semua penderitaan diakibatkan karena dosa yang
sudah dilakukan?
Penderitaan
menimbulkan berbagai pertanyaan dalam kehidupan manusia, terutama kepada orang
yang mengalami penderitaan itu. Pertanyaan klasik yang muncul adalah: mengapa
aku? Lalu mempertanyakan keberadaan Tuhan, mempertanyakan kekuasaan Allah,
bahkan dalam kondisi yangb paling akut yaitu tidak mempercayai keberadaan Allah
lagi. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul
akan menjadikan diri sang penderitaan
menempati posisi di mana dia akan berfokus kepada diri sediri, mengasihani diri
sendiri dan memandang paling benar diri sendiri dengan beranggapan bahwa dia
tidak layak menerima penderitaan tersebut. Kondisi seperti ini akan menyebabkan
manusia jauh dari Tuhan dan tahapan selanjutnya adalah akan menganggap Tuhan
tidak ada. Ini merupakan cara Iblis mencuri kesempatan untuk emakin melemahkan
manusia dan membawa manusia kedalam lubang penderitaan yang semakin dalam.
Lalu
bagaimana kaitanya antra dosa dengan penderitaan? Saat manusia melakukan dosa
terkadang manusia tidak terpikirkan akibat dari dosa yang manusia lakukan itu
bertalian dengan penderitaan, manusia dibutakan sehingga kehilangan “kesadaran”
akan hukuman yang harus diterima. Saat berbuat dosa manusia akan mencari standar
untuk pembenaran diri supaya manusia itu layak melakukan dosa itu adalah dengan
melihat orang lain/ orang banyak yang melakukan dosa. Perbuatan orang lain
menjadi acuan untuk memantaskan diri supaya dapat melakukan dosa itu, dengan
melihat banyak temannya maka individu memiliki dorongan keberanian untuk
melakukan dosa karena memiliki asumsi dasar bukan hanya saya yang melakukannya.
Saat seseorang berbuat dosa maka
konsekuensi dari dosa tersebut sudah berlaku. Manusia berbuat dosa itu adalah
posisi dimana manusia menggunakan hak atau kebebasannya untuk berbuat dosa,
namun yang harus disadari juga adalah pada saat yang sama manusia telah
membuang haknya untuk melakukan kebenaran. Manusia harus mempertanggung
jawabkan setiap apa yang telah dilakukan.
Bertentangan
penderitaan akibat dosa, kita melihat dari sudut pandang yang berbeda mengenai
penderitaan bukan akibat dosa. Kita tidak dapat memvonis orang yanng mengalami
penderitaan itu adalah akibat dari hukuman yang setimpal dengan perbuatan dosa.
Jika pandangan orang yang berdosa harus menerima hukuman dalam bentuk
penderitaannya karena perbuatan dosanya itu merupakan teori atau pandangan yang sudah biasa, namun jika sebaliknya
penderitaan itu tidak disebabkan karena dosa namun orang itu mengalami
penderitaan juga. Ini merupakan suatu paradoks yang dapat membingungkan, jika
kita dapat rumuskan, orang berdosa = menderita dan orang tidak berdosa= menderita, kesimpulannya adalah orang berdosa
dan tidak berdosa sama-sama menderita. Jika seperti ini maka dapat dikatakan
Allah tidak adil. Karena orang berdosa dan tidak berdosa memiliki tindakan yang
tidak sama namun kesimpulannya tetap sama yaitu sama-sama mengalami
penderitaan. Dalam rumusan tersebut ada hal yang sangat mencolok yaitu
penderitaan orang berdosa itu adalah sebagai hukuman, sementara penderitaan
norang tidak berdosa itu bukanlah sebuah hukuman, sekalipun mereka sama-sama
menderita namun esensi dari menderita itu sangat jauh berbeda.
Penjelasan
mengenai orang tidak berdosa namun mengalami penderitaan dapat terlihat jelas
dari kisah Ayub yang menjadi acuan bahwa tidak semua penderitaan itu akibat
dosa. Pembelaan Ayub terhadap tuduhan-tuduhan dari teman-temannya berusaha
mematahkan teori-teori yang sudah lama terbangun di pikiran teman-teman Ayub
dan juga pikiran “manusia” dari masa ke masa dan membuktikan bahwa tidak semua
orang yangb menderita itu karena dosa.
Dari
penderitaan yang tidak pada tempatnya yang Ayub alami memberikan penguatan bagi
orang-orang yang saat ini menderita. Dalam penderitaannya Ayub tetap dappat
memuji Tuhan dengan mulutnya menggunakan lututnya untuk menyembah. Penderitaan
yang tidak dia mengerti karena penderitaan itu sangat bertentangan dengan konsep
yanng sudah dipahami dari turun temurun, namun konsep itu berbalik derastis
saat kondisi itu dialami oleh orang yang tidak berdosa seperti Ayub. Namun di
dalam ketidak mengertian Ayub mengapa hal itu terjadi ada satu hal yang Ayub
pahami yaitu bahwa Tuhan adalah Tuhan yang tidak mungkin tidak baik kepada
dirinya. Dari ketidak tahuannya, ayub memahami bahwa Tuhan mempunyai
suatu pengertian yang benar yang tidak ia ketahui.
Penderitaan
yang Ayub alami tidak mengganggu keimanan Ayub. Ayub menjadi perwakilan bagi
orang-orang yang baik yang menderita, dan merupakan pembalikan teori usang yang
telah lama diyakini banyak orang. Pertanyaan- pertanyaan seputar penderitaan
sangat panjang jika dibahas dan didebatkan,di manakah Allah saat kita sedang
mempertanyakan dan mendebatnya? Allah diam terhadap semua perdebatan itu, namun
saat Allah berdiam bukan berarti Allah tidak ada. Saat
manusia mengoceh, mempertanyakan tentang keadaanya dan Allah diam, sesungguhnya
itu Allah sedang memperhatikan ocehan manusia, dalam diamnya Allah adalah diam
yang aktif bukan diam yang pasif diamnya Allah terus memperhatikan manusia yang
mengalami penderitaan.
Hal
yang penting yang harus kita pahami mengenai penderitaan adalah apakah
penderitaan itu membangun atau menjatuhkan? Jawaban dari pertanyaan tersebut
terletak pada respon dari masing-masing manusia. Respon yang manusia berikan
terhadap penderitaan itu yang menunjukan nilai dari menusia dihadapan Tuhan. Jika
melihat pribadi Ayub yang mengalami penderitaan respon Ayub begitu luar biasa,
Ayub 2:10 menunjukan kualitas kehidupan Ayub yang sangat tinggi, dia tidak
hanya ingin menerima yang baik saja dari Tuhan namun juga dia mau menerima yang tidak baik, Ayub menjunjung tinggi
kedaulatan Allah atas hidupnya. Respon yang Ayub berikan atas penderitaan itu
bukan tanpa dasar, Ayub mengerti bahwa penderitaan itu merupakan pencobaan[1] yang menguji dia setelah dia melewati itu semua
ia akan seperti emas murni seperti emas (Ayb. 23:10). Respon manusia terhadap Allah yang
mengizinkan penderitaan dialami oleh manusia sangat jelas mengikis keakuan/keegoisan
dalam diri manusia itu sendiri dan
membawa manusia menuju kepada kesempurnaan yang luar biasa. Melalui penderitaan
yang diresponi dengan dengan benar akan mendatangkan suatu penghiburan, karena
orang yang tidak melalui penderitaan tidak mempunyai pengertian tentang apakah
maksud Tuhan melalui penderitaan itu. Penderitaan itu memberikan pengertian
tentang penghiburan, seseorang tidak akan mengerti betapa perlunya terang jika
seseorang tersebut tidak pernah berada di tempat yang sangat gelap tanpa
secerca cahaya sedikitpun.
Semakin
seseorang banyak mengalami penderitaan semakin banyak ia mempelajari hal baik
melalui penderitaan itu, dari pelajaran yang diperolehnya semakin banyak
kekuatan yang ia peroleh, dari apa yang dia peroleh orang tersebut akan
mentranferkan kekuatan kepada orang lain yang juga mengalami penderitaan, dan
orang tersebut menjadi alat Tuhan untuk kemuliaan nama-Nya. Penderitaan dan
penghiburan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana dua sisi
mata uang koin. Penderitaan bukan bertujuan untuk menjatuhkan atau
menghancurkan kita, Iblislah yang mengambil kesempatan untuk menjatuhkan dan
menghancurkan manusia supaya manusia salah dalam meresponi pernderitaan. Respon
yang benar terhadap penderitaan harus kita dasari bahwa segala sesuatunya
mendatangkan kebaikan. Penderitaam tidak akan menghancurkan hubungan dengan
Tuhan jika kita memiliki cinta kepada Tuhan, maka kita akan melewati
penderitaan itu dengan pandangan tertuju kepada Tuhan dan mengetahui apa yang
Tuhan sediakan itu lebih indah dari berbagai hal yang kita miliki selama di
bumi ini. Oleh karena itu banyaknya penderitaan yang kita alami tidak
membuat kita putus asa, lemah dan tidak berpengharapan, namun sebaliknya
banyaknya penderitaan itu menjadikan kita semakin kuat dan menjadi saluran
pengutan untuk orang lain. Saat seseorang mengalami penderitaan yang begitu
luar biasa pada saat itulah Tuhan sedang memakai orang tersebut untuk menjadi
alat di tangan Tuhan untuk menyalurkan berkat kepada orang lain. Dalam kondisi
seperti inilah penderitaan menjadi suatu alat yang membangun bukan yang
menjatuhkan.
[1] Dalam
Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani, kata ‘percobaan’ dijelaskan berasal dari
kata benda ‘massa’ atau kata kerja ‘masa’ atau ‘pakan’. Kata ‘massa’
berarti cobaan atau ujian. Sedangkan kata kerja ‘masa’ berarti mencoba atau
menguji. Kata ‘pakan’ sendiri berarti menguji, melebur atau membersihkan logam.
Dengan melihat penjelasan dari bahasa aslinya kita dapat melihat maksud dari
pencobaan ini adalah memiliki tujuan yaitu
Mencapai nilai tertinggi, seperti
pencapaian nilai tertinggi dari logam
yakni emas. Bila logam itu ternyata bukan emas, ia akan lebur dan habis. Hanya
emas sebagai logam mulia yang tahan bakar, yang tahan uji. Dalam bahasa Yunani
pencobaan berasal dari kata benda ‘persmon’ dan kata kerja ‘perason’. ‘Perason’
sama dengan kata pakan dalam bahasa Ibrani yaitu melebur, membersihkan atau
menguji logam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar