Minggu, 05 November 2017

MASIH RELEVANKAH PL??? (i)
PENDAHULUAN
Keyakinan umat Kristen terhadap Alkitab sebagai Firman Allah adalah suatu hal yang mutlak. Alkitab berisi Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB), dua bagian kitab yang ditulis di masa yang berbeda dan penulisnya adalah orang-orang yang berbeda. Lalu bagaimanakah hubungan antara PL dan PB? Jika kita dapat memahami benang merah yang ada antara PL dan PB, maka “Gereja-gereja” tidak perlu beradu argument menunjukan siapa yang paling benar dalam menafsirkan alkitab mempertahankan dogma masing-masing. Kebenaran Firman Tuhan bersifat Mutlak yang sangat akurat dan tidak terbatas,[1] hanya saja terkadang manusianya yang mempermasalahkan perbedaan penafsiran dari satu tafsiran dengan tafsiran yang lain.
Dalam dewasa ini banyak pertanyaan maupun pernytaan mengenai Pl dan praktek-prakteknya  tidak lagi relevan dengan masa kini, namun dari sisi yang berbeda ada juga yang semakin memviralkan PL dan segala prosesi yang ada di dalamnya. Jika kubu yang memiliki perbedaan pandangan ini tidak dapat saling menerima satu dengan yang lain maka dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Saat terjadi konflik maka “gereja” sebagai tubuh Kritus (bdg. 1 Korintus 12:1-31) tidak lagi dapat dikatakan sebagai alatnya Tuhan dan tidak menjalankan perintah Tuhan Yesus untuk saling mengasihi (bdg. Yoh. 15:9-17).
Pertanyaan yang dapat dipertanyakan untuk dapat memperoleh benang merah atas PL dan PB adalah masih Relevankah PL di masa perjanjian Baru? Dengan pertanyaan ini kita sebagai manusia masa kini harus menelaah dengan jujur dan dengan dasar firman Tuhan yang benar, tidak boleh hanya sebatas dogma keyakinan yang di utamakan. Kita harus objektif dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut, kita harus melihat secara keseluruhan tidak hanya sebagian-sebagian saja.
Saat kita berbicara tentang Alkitab maka kita tidak bisa mengabaikan salah satu dari kitab tersebut, kita harus dengan rendah hati menerima kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru seperti dua sisi mata koin yang tidak dapat dipisahkan, setiap bagiannnya memiliki pesan khusus bagi setiap orang yang membacanya. Untuk memahami PL dan PL dua bagian yang tidak dapat dipisahkan kita harus memiliki titik pusat sebagai acuan tujuan utama mengapa kitab ini sampai ada. Kita akan sepakat bahwa Yesus adalah titik Pusat dari pembahasan hubungan antara PL dan PB.
Saat menempatkan Yesus sebagai titik pusat maka kita akan mengetahui bahwa PL memiliki peranan yang sangat penting yang tidak dapat diganggu gugat lagi, karena PL memberikan catatan sejarah yang menjadi penuntun yang dapat di gunakan disepanjang masa. Dalam PL sangat jelas dicatat mengenai  Latar belakang Yesus. Segala nubuatan-nubuatan yang ada di dalam Perjanjian Lama semuanya mengarah kepada Mesias yaitu Yesus yang menjadi penebus umat manusia. Pentingnnya PL juga dapat dilihat dari sudut pandangan yang berbda diluar dari pada Kristosentris, PL menjadi cikalbkal atau dasar yang dapat digunakan untuk  pedoman kehidupan sosial.
Janji sebagai bentuk Kesinambungan antara PL dan PB
Keselarasan hakiki antara PL dan PB  terletak pada Allah sendiri, melalui janji-Nya yang diwujudkan di dalam Yesus Kristus. Namum sebelum sampai kepada Yesus Kristus (PB) kita harus mengtahui terlebih dahulu mengetahui janji-janji Allah dalam PL sebagai landasan yang menuju kepada penggenapan Yesus sang Mesias. Perjanjian Lama sangat menekankan pengharapan akan masa depan, akan datangnya seorang penebus dan pembebas bagi Bangsa Israel. Hal tersebut terlihat sangat jelas melalui tulisan-tulisan tertua, eskatologi para nabi dan disusul tulisan-tulisan terkemudian.  Karena jika dilihat secara keseluruhan Janji Allah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu Janji sebelum kedatangan Kristus dan setelah kedatangan Kristus. Perjanjian ini sepenuhnya adalah inisiatif Allah, Allahlah yang memulai menggagas permulaan perjanjian ini. perjanjian yang bersifat khusus antara Allah dan manusia yang dibuat bukan berdasarkan kesepakatan yang sejajar tetapi inisiatif dipegang oleh Allah dan didasarkan kerelaan-Nya mengikat diri dengan ciptaan-Nya.[2]
Perjanjian Allah pertama kali dinyatakan kepada Adam melalui larangan Allah kepada Adam untuk tidak memakan pohon pengetahuan tentang yang baik dan tentang yang jahat, meskipun dalam kitab Kejadian tidak dinyatakan langsung sebagai suatu perjanjian. Manusia diciptakan Tuhan karena Tuhan memiliki maksud dan tujuan, manusia menjadi agennya Tuhan, Adam merupakan pengantara pertama sebelum jatuh di dalam dosa. Kejatuhan manusia kedalam dosa menjadikan Allah berusaha memulihkan manusia. Sampai pada masa Nuh (Kejadian 9:9-12), Abraham/Patriak ( Kej 12:1-3), Musa (Kel 19:5-6), Daud/monarki (2 Samuel 7:12-17), Para Nabi (Yer. 31:31-34), Janji Tuhan tetap berlangsung secara berkelanjutan, janji yang di nyatakan itu berkaitan dengan janji  berkat, tanah dan keselamatan. Penantian penggenapan janji-janji Tuhan mengenai seseorang yang akan menyelamatkan umat manusia tergenapai di dalam diri Yesus yang dinyatakan di dalam PB.
Dalam Perjanjian Baru, berkesinambungan dengan tujuan atau pandangan Perjanjian Lama, yakni bahwa Perjanjian Baru mengutamakan penggenapan janji dan pengharapan-pengharapan yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Di kejadian 3:15 Allah mengumumkan permusuhan antara  setan dan umat manusia (protevangelium), kelanjutan dari pemberitaan itu adalah penggenapan kemenangan Yesus Kristus atas setan diatas kayu salib (KoL. 2:14-15; Ibr. 2:14),dengan kekalahan setan maka berdampak kepada keselamatan manusia, terjadi pemulihan hubungan antara manusia dengan Allah. Dalam perjanjian Baru Yesus lah sebagai Mesias yang menjadi penggenapan puncak sang penebus yang dinanti-nantikan dalam Perjanjian Lama. Yesus sebagai anak domba yang dikorbankan untuk menebus dosa umat manusia. Yohanes Pembaptis mengatakan secara langsung bahwa Yesus adalah "Anak Domba Allah". Kata-kata tersebut mempunyai arti yang besar bagi para pendengarnya karena seekor domba mempunyai fungsi sebagai korban penghapus dosa mulai dari zaman PL hingga saat Yohanes mengeluarkan perkataan itu. Jika Anda ingin mengerti dengan benar gambaran yang diberikan kepada Yesus ini dan apa yang sudah Dia perbuat untuk umat manusia, maka kita harus belajar tentang korban anak-anak domba dalam PL ( bdg. Imamat 4:32-35). Yesus sebagai penggenapan PL terbukti dari sebelum di lahirkan, setelah di lahirkan dan semasa hidup sampai kepada kematianNya, kebangkitan dan kenaikan. Kesibungan antara PL dan PB telah terlihat garis tangahnya, Penyelamatan oleh kasih karunia, penggenapan dan janji yang tidak dapat dipisahkan.
Sebagai orang Kristen yang meyakini Alkitab adalah kebenaran Firman Tuhan, maka dengan sikap hati yang teguh kita juga harus meyakini bahwa PL dan PB memiliki kesinambungan satu dengan yang lain.
kedua Perjanjian itu memiliki beberapa sudut pandang dan pola yang sama, bahwa keduanya berbicara hal yang sama mengenai masalah-masalah pokok, khususnya dalam hal hubungan Allah dan manusia, manusia dengan sesamanya, dan lain sebagainya. Dan juga kedua perjanjian tersebut pada hakikatnya berkesinambungan dalam sejarah dan bersatu dalam teologinya. Akan tetapi, ternyata keduanya pun memiliki perbedaan, antara lain ialah banyaknya pemahaman dan praktek dalam Perjanjian Lama yang tergantikan oleh Perjanjian Baru, bahwa ciri khas Perjanjian Lama bersifat persiapan, sedangkan dalam Perjanjian Baru bersifat penggenapan, serta kehidupan masyarakat dalam Perjanjian Baru memiliki hubungan yang lebih pribadi dengan Allah, jauh melebihi masyarakat dalam Perjanjian Lama.
Menurut H. H. Rowley, kesatuan dan kesinambungan yang hakiki antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditemukan dalam asalnya yang sama dari Allah, pengajaran yang sama mengenai Allah dan manusia, pola-pola yang sama dan prinsip-prinsip etika serta liturgy yang sama (Baker. 1996: 265). Pandangan lain yang menjelaskan mengenai hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru datang dari Th. C. Vriezen, yang berpendapat bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki beberapa perspektif yang sama, di antaranya adalah konsep persekutuan, nubuat, dan kerajaan. Menurut Vriezen kepastian persekutuan yang langsung antara Allah dan manusia merupakan ide dasar dari seluruh kesaksian Alkitab, sehingga antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Secara historis-teologis, menurut Hasel (Baker, 1996: 289-295) terdapat hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yaitu sebagai berikut: 
1. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam sejarah umat Allah dan cara Allah berurusan dengan manusia.
2. Terdapat kutipan dalam Perjanjian Baru yang diambil dari Perjanjian Lama
3. Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama menggunakan tema-tema teologis yang penting seperti pemerintahan Allah, umat Allah, pengalaman keluar dari perbudakan, perjanjian, Kerajaan Allah, ciptaan dan ciptaan baru serta masih banyak lagi.
4. Secara terbatas tipologi menguatkan bahwa terdapatnya hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
5. Adanya kategori janji dan penggenapan yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, hal ini memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tak terpisahkan.
Selanjutnya hubungan antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian baru, menurut Bright (1967: 136-138), Alkitab merupakan buku teologi, sehingga kesatuan Alkitab tergantung pada adanya kesatuan dalam teologi Alkitab. Perjanjian Lama, menurut Bright merupakan kitab yang mencatatkan sejarah nyata, dalam hubungan dengan suatu penafsiran teologis mengenai sejarah itu. Sejarah tersebut dimengerti sebagai suatu sejarah yang menuju suatu tujuan namun tidak sampai kepada tujuan tersebut. Jadi secara teologis Perjanjian Lama tidak lengkap, karena melukiskan suatu sejarah keselamatan yang di dalamnya keselamatan tersebut belum tercapai. Penggenapan dan penyempurnaan akan keselamatan tersebut hanya terdapat di luar batas-batas Perjanjian Lama, yakni pada Perjanjian Baru. Pada Perjanjian Baru tersebut, yang menjadi berita utamanya adalah Yesus Kristus telah datang, Allah telah bertindak secara nyata dalam menentukan sejarah manusia pada penggenapan janji-janjinya dan mencapai keselamatan. Melihat penjelasan di atas, dengan model struktur teologi yang melengkung, mempengaruhi masing-masing teks dengan menggunakan cara-cara tertentu, itu merupakan unsur yang hakiki dan normativ dalam Perjanjian Lama. Struktur tersebut merupakan suatu unsur yang mengikatnya tanpa terbukakan dengan Perjanjian Baru dalam Kanon Kitab Suci.  Oleh karena itu, jelaslah bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak hanya terdapat suatu kesinambungan atau hubungan secara historis saja melainkan juga memiliki suatu hubungan kesatuan historis.
Lalu bagaimana dengan praktek keagamaan dan tradisi Yahudi yang di dalam PL di sedang viral lakukan di masa gereja saat ini, masih relevan atau tidak? Kita akan bahas pembahasan ini pada pembahasan edisi berikutnya.












Sumber:
Berkhof, Louis, Teologi Sistematika 2: Doktrin Manusia, Surabaya: Momentum, 2011.
McComiskey, Thomas Edward, The Covenants of Promise, Grand Rapids: Baker Book House, 1985.
Bright 1967: 136-138
Baker, 1996: 289-295
Dumbrell, W. J. Covenant and Creation: A Theology of Old Testament Covenant, New York:
         Thomas Nelson Publishers, 1984.
Szikszai, Stephen, The Covenant in Faith and History, Philadelphia: The Geneva Press, 1952.
Barth, Christoph dan Barth-Frommel, Marie-Claire, Teologi Perjanjian Lama 1, Jakarta:
         Gunung Mulia, 2010
Dryrness, William, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1990.
Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology,Malang: Literatur, 2012.
Robertson, O. Palmer, Covenants: God’s Way with his People, Philadelphia: Great
        Commission Publications, 1978.