Saya sadari sebagai penulis untuk menulis tulisan ini
bukanlah hal yang mudah, di mana pertanyaan mengenai penderitaan dan kejahatan,
mempertanyakan keberadaan Allah di saat masa-masa sulit yang begitu menyakitkan
terjadi. Namun jika penulis tidak mengalami suatu penderitaan dalam kehidupan
nyata, maka tulisan ini hanya sebuah cerita penderitaan teoritis saja. Dengan
sudah menempati posisi penderitaan tersebut maka tulisan ini akan menjadi
tulisan yang hidup, di mana penulis juga pernah merasakan apa yang pembaca
rasakan. Kehilangan, kesakitan, jeritan dan tangis menjadi kekuatan dasar dari
penulis untuk mengajak pembaca semakin mencintai Tuhan melalui penderitaan yang
sedang di alami. Pertanyaan yang begitu menonjol saat seseorang mengalami penderitaan
adalah mengenai keadilan Allah dan eksistensi Allah dalam kehidupan ini. Doa
dan harapan penulis melalui Tulisan sederhana ini akan memberikan pengertian
yang benar dan kekuatan yang baru bagi pembaca semuanya. Kita mulai dari
keadilan Allah (teodise).
Teodise merupakan salah satu kandungan yang ada
dalam sastra hikmat dalam perjanjian Lama. Teodise dalam PL berkaitan dengan
kenyataan sakit penyakit, penderitaan, dan kematian di dalam dunia dalam
hubungannya dengan kekudusan dan Keadilan Allah. Pokok pembahasannya yaitu
meliputi penderitaan manusia, kemiskinan dan ketidak-adilan sosial, kecurangan
hidup, kehidupan setelah kematian (Pkh. 3:16-22) dan tujuan serta makna hidup
(Pkh. 4:1-3).
Pengertian dari teodise sendiri adalah pembelaan akan adanya Tuhan. Teodise
berasal dari bahasa Yunani dari kata theos (Tuhan)
dan dike (Keadilan), dicetuskan
pertama kali oleh seorang filsuf Jerman, Gottfried Wilhem Leibniz lewat
penerbitan bukunya essais de Théodicée
pada 1710 yang berisikan analisis-analisis filosofis.
Jika digabungkan menjadi mengadili adanya Tuhan, atau pengadilan akan adanya
Tuhan, dengan perkataan lain teodise berarti Keadilan, kebenaran atau
pembenaran Allah (oleh manusia) atau usaha yang membenarkan tindakan-tindakan
Allah.
Sebelum membahas teodise menurut sudut pandang dari
alkitab, penulis
menjelaskan teodise secara umum. Teodise ada karena respon dari adanya
kejahatan dan penderitaan sehingga timbul orang-orang yang mempertanyakan
eksistensi Tuhan yang mahabaik, mahakuasa, mahatahu, dan maha adil. Seorang
yang bernama John M. Frame dalam bukunya menuliskan mengenai “kejahatan” dan
“penderitaan” merupakan suatu hal yang harus diperhatikan secara serius karena
hal ini dijadikan dasar atau alasan untuk melawan keimanan kaum Theisme.
Kejahatan dan penderitaan itu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
keduanya dapat menimbulkan sebab dan akibat dari kedua hal tersebut.
Asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki standar yang sah para Filsuf
mengatakan bahwa sifat Allah yang mahatahu, mahakuasa, dan maharahim tidak
cocok dengan adanya kejahatan dan penderitaan di dunia ini.
Menurut John Hick sebagaimana disadur oleh Meister,
penderitaan karena kejahatan moral itu berasal dari manusia itu seperti contoh
pikiran kejam dan ketidakadilan yang teraplikasi di dalam perbuatan mereka.
Golongan yang termasuk di dalam Kejahatan moral yaitu “tindakan” seperti
berbohong, memperkosa, membunuh, dan lain sebagainya juga “karakter” seperti
kedengkian, keserakahan, iri hati dan sebagainya. Berbeda dengan penderitaan
yang disebabkan karena alam, itu merupakan sesuatu yang berada diluar batas
kemampuan pikiran dan tindakan manusia. Yang sangat jelas terlihat seperti
wabah penyakit, bencana alam, dan lain sebagainya. Kontras dengan penderitaan
yang disebabkan oleh alam yaitu penderitaan yang disebabkan oleh alam namun
penyebab utamanya adalah ulah manusia itu sendiri yang tidak diperhitungkannya
sebelumnya dan masuk dalam kejahatan moral.
Ada anggapan bahwa penderitaan itu merupakan sesuatu
persoalan filosofis yang berujung kepada pertanyaan yang mempertanyakan
keberadaan Allah. Sama dengan filsuf-filsuf yang lainnya yang mempertanyakan
tentang keberadaan Allah seorang Filsuf bernama J.L. Mackie berargumentasi
melawan Allah melalui bukunya yang berjudul The
Miracle Of Theisme,” jika ada Allah yang baik dan berkuasa, Dia tidak akan
mengizinkan kejahatan yang tidak bermakna ini, tetapi karena ada banyak
kejahatan yang tidak bermakna dan tidak dapat dibenarkan, maka Allah
tradisional yang baik dan berkuasa tidak mungkin ada. Beberapa dewa tertentu
mungkin ada atau tidak ada, tetapi Allah tradisional tidak ada.Adanya
kejahatan dan penderitaan menyebabkan anggapan bahwa Allah yang baik tidak
ingin meniadakan penderitaan dan kejahatan karena hal tersebut sangat kontras
dengan status atau gelar yang dimiliki oleh Allah dan ungkapan yang lebih sinis
lagi adalah bahwa Allah tidak tahu bagaimana cara membasminya.
Berikut ini adalah premis dasar para filsuf dalam memandang Allah dalam
keterkaitan-Nya dalam penderitaan yang terjadi di dunia ini.
Premis
1: Jika Allah Mahakuasa, Ia akan dapat mencegah kejahatan dan penderitaan .
Premis
2: Jika Allah Mahabaik, Ia akan berkehendak untuk mencegah kejahatan dan
penderitaan.
Kesimpulan:
Jadi, jika Allah Mahakuasa dan
Mahabaik, maka tidak akan ada kejahatan dan penderitaan.
Premis
3 : Tetapi kejahatan dan penderitaan ada.
Kesimpulan:
Oleh karena itu, tidak ada Allah yang
Mahakuasa, Mahabaik.
Ada pendapat lain yang berasal dari Leahy yaitu
fakta bahwa dalam dunia ada kejahatan dan penderitaan merupakan sebab utama
orang menjadi ragu-ragu apakah memang ada Allah yang baik, yang menciptakan dan
memelihara alam raya dengan manusia yang ada di dalamnya. Maka pertanyaan yang
timbul adalah mengapa Allah membiarkan adanya kejahatan dan penderitaan
merajalela dalam dunia? Sangat terlihat jelas sepertinya tidak ada Keadilan
yang terjadi dalam hal ini karena pada faktanya kejahatan dan penderitaan
dialami oleh orang yang tidak bersalah, mereka tidak mengalami hal-hal yang
positif sama sekali. Dengan keadaan yang seperti demikian maka bagaimana dapat
dijelaskan dan diselaraskan antara ke maha kuasaan Allah, Keadilan Allah, dan
kebaikan Allah.
Dengan melihat pandangan-pandangan yang dikatakan
oleh beberapa tokoh yang mempertanyakan keeksistensian Allah dan mempertanyakan
tentang permasalahan kejahatan dan penderitaan sesungguhnya pandangan-pandangan
mereka yang didasarkan dengan realitas yang terjadi mendukung pendapat mereka
tentang ketidak-beradaan Allah. Karena hal demikian, Ronald H. Nash menyatakan
bahwa orang-orang percaya harus tegas dengan keyakinan mereka bahwa dunia dan
segala kejahatannya diciptakan oleh Allah.
Tanggapan lain yang berasal dari para teolog dan filsuf teistik yang berusaha
memberikan argumentasi-argumentasi atau bukti-bukti yang meyakinkan bagi adanya
eksistensi Allah yang sering disebut dengan teologi natural.
Di dalam kitab Perjanjian Lama, seolah-olah Allah
berdiam diri dan eksistensinya Allah tidak terlihat terhadap keluhan-keluhan
dari beberapa tokoh alkitab yang menyerukan pertanyaan dan protes kepada Tuhan
seakan-akan tidak ada Keadilan lagi karena kondisi yang mereka alami tidak
sesuai dengan perbuatan mereka atau iman mereka. Mereka beriman bahwa Tuhan
akan menolong mereka namun pada kenyataannya mereka tidak memperoleh
pertolongan tersebut. Seruan pertanyaan dan protes kepada Tuhan terlihat di
dalam Mazmur 10; 12; 14; 22; 13; 35; 36; 37; 43; 44; 49 dan, 73; 74; 79; 80;
83; 88; 89; 94; 115:2;140; Pkh. 9:1-6;3:16-22, Pkh. 4:1-3; Yer. 12: 1-2, (Yes.
42: 1-4; 49: 1-6; 50: 4-9; 52: 13-53: 12).
Sangat terlihat jelas dalam ayat-ayat tersebut bagaimana tokoh-tokoh yang ada
dalam menyerukan tentang Keadilan Allah. Ketidakadilan juga muncul dari dalam
keluhan seorang nabi yang bernama Habakuk karena terjadi pelanggaran dan
pemutarbalikan Taurat dimana orang-orang Fasik memperlakukan orang-orang benar
dengan semena-mena (Hab. 1:2-4), dengan keadaan seperti ini Habakuk
mempersoalkan Keadilan TUHAN, sepertinya TUHAN berdiam dan melakukan pembiaran
terhadap pelanggaran yang terjadi. Dalam seruannya, Habakuk menunjukkan
persoalan ketidak-adilan yang terjadi melingkupi permasalahan Keadilan dan
keagamaan, di dalamnya terdapat orang-orang yang merampas milik orang lain,
orang-orang yang mengambil laba yang tidak halal, orang-orang yang membangun di
atas dasar kekerasan dan kekejaman dan ketidak adilan, orang-orang yang
menyembah berhala.
Dari ayat-ayat dan tokoh yang dituliskan di atas terlihat seruan mereka
mempertanyakan tentang kondisi orang fasik yang memiliki kehidupan yang makmur
dan kehidupan yang nyaman, sehingga tidak sesuai dengan konsep dan tatanan yang
sudah berlaku bahwa seharusnya orang fasik memiliki kehidupan yang jauh dari
berkat, kemakmuran dan kenyamanan hidup. Dalam ungkapan tokoh-tokoh tersebut
sepertinya mereka kehilangan harapan di dalam ketidak-adilan yang mereka alami.
Bagaimana memahami sifat Keadilan Allah berhadapan
dengan fakta adanya penderitaan, jika diperhatikan pengertian dari Keadilan yang
dilihat dari bahasa Ibrani nya adalah Kata משׁפט berasal dari kata dasar שׁפט (saphat), yang
memiliki arti menghukum, menjadi hakim, menghakimi, mengadili, membela dan
memerintah. Di dalam Perjanjian Lama, kata tersebut ada sekitar 422 kali,
sehingga kata Mišp̠āṭ diartikan
sebagai Keadilan (justice) dan arti
dasarnya adalah cara yang benar bagi seseorang untuk membawakan diri, dan cara
yang benar untuk memperlakukan orang lain. Proses menyatakan hak perseorangan
ialah Keadilan, dan jika seseorang melakukan kejahatan maka patut ia dihukum. Mišp̠āṭ menjadi tanda dari Keadilan
dalam semua pribadi (personil) administrasi sipil yang benar, yang harus
diutamakan Keadilan terutama adalah satu sifat TUHAN, sebab semua Keadilan yang
benar mendapatkan sumbernya hanya dari pada TUHAN semata-mata saja (Ams.
29:26),
ini berarti bahwa setiap orang memperoleh haknya sesuai dengan apa yang
diterimanya tanpa pilih kasih atau diskriminasi karena Alkitab sangat
menekankan Keadilan di dalam hubungan antar manusia. Keadilan dilihat sebagai
sifat Allah yang dinyatakan dengan membela orang-orang yang tertindas dalam
rangka memelihara kehidupan.
Perjanjian lama tidak hanya memperkenalkan Allah
sebagai sang pencipta langit dan bumi saja, namun Allah diposisikan sebagai sang
pembebas bagi orang-orang yang tertindas, dalam pengalaman hidup bangsa Israel
yang telah mengalami pembebasan oleh Allah dari tanah perbudakan menjadikan hal
tersebut dasar bahwa Allah itu berkuasa dan adil dan hal ini juga menjadi dasar
untuk konsep Retribusi (prinsip pembalasan/konsekuensi logis) yang menyatakan
bahwa orang benar akan diberkati dan orang berdosa akan dihukum. Secara jelas
dinyatakan bahwa kitab Ulangan (Ul. 11:13-17) dan diperluas dalam Imamat 26 dan
Ulangan 28, di sini hukum diberikan kepada bangsa Israel bahwa berkat untuk
kebaikan dan hukuman untuk dosa,
apapun yang dilakukan Allah itu merupakan perwujudan dari Keadilan Allah (Yes
5:16; Mzm. 50:6) karena Allah adil dalam segala perbuatan-Nya (Mzm. 119:137).
Keadilan Allah menunjukkan perilaku yang benar atau watak yang benar, sikap
lurus, selaras dengan semua norma tertentu. Seringkali disertai dengan unsur
kehakiman, yakni ada hubungannya dengan pengadilan atau keputusan-keputusan
berdasarkan hukum.
Dengan melihat persoalan penderitaan
yang terjadi di dalam kitab Ayub merupakan persoalan yang universal, yang bukan
hanya terjadi di dalam kitab Ayub namun penderitaan seperti itu terjadi juga
dalam kehidupan sehari-hari dalam dewasa ini. Bullock dalam bukunya menuliskan
kitab Ayub secara teologis permasalahan utama dalam kitab Ayub adalah persoalan
kejahatan dan dikembangkan kedalam dua kutub yaitu kedalam ranah Keadilan
Allah, kejujuran dan ketulusan orang benar yang di dalamnya terkandung
persoalan lain yaitu misteri kejahatan kemakmuran orang jahat, dan penderitaan
orang benar. Bullock mengutip hasil penelitian dari Kaufmann yang menyatakan
dampak pertanyaan yang lebih besar dari konsekuensi tidak logis yang terjadi
seperti dalam kitab Ayub. Pertanyaannya adalah apakah di dunia ini benar-benar
ada suatu tatanan moral?
Sementara Brueggeman dalam bukunya mengatakan bahwa Tuhan melakukan “teologi
Lazim” yakni kecondongan TUHAN mengharuskan satu tatanan (moral, politik atau
yang lain) menjamin sistem manfaat dari tatanan itu dengan keras memberikan
hukuman yang keras kepada orang yang melecehkan tatanan itu. Dengan
melihat dari pendapat Brueggeman yang memberikan penghukuman kepada orang yang
melecehkan tatanannya, secara otomatis sifat Allah yang adil akan memberikan
pembalasan yang sesuai dengan tatanan moral yang sudah ditetapkan. Namun pada
kenyataannya dalam kisah Ayub tatanan tersebut sepertinya tidak berlaku, maka
pertanyaan yang muncul seperti dalam tulisannya Bullock adalah ketika Keadilan
Allah berbenturan dengan kebenaran manusia, apakah ada penyelesaiannya?
Kitab Ayub dituliskan untuk mengetahui dan
menyelidiki Keadilan Allah di mana penderitaan yang ekstrem terjadi kepada
orang yang hidupnya benar. Dampak dari ketidakadilan yang ia rasakan
memunculkan pertanyaan kepada Allah dalam bentuk protes. Bentuk pertanyaan atau
protes Ayub sangat terlihat di dalam Ayub 9; 10; 19; 21; 30, 28; 6, 22, seruan
yang menyatakan kebosanan hidupnya karena apa yang dia alami. Seruan Ayub tidak
mendapatkan respon dari Tuhan, Ayub menganggap bahwa semuanya sama karena akan
binasa. Suatu kewajaran pertanyaan yang ayub pertanyakan atas penderitaan yang
ia alami.
Pertanyaan mengenai penderitaan atau kejahatan yang
berdampak kepada penderitaan itu merupakan pertanyaan klasik yang selalu
menarik untuk dipertanyakan. Keadaan di mana seseorang mengalami suatu hal yang
sangat menyakitkan yang tidak sedikit menyebabkan keruntuhan iman. Mempelajari
teodise secara singkat dan sederhana seperti penjelasan di atas tidak akan
lengkap jika kita tidak meninjau Allah dari sudut kehamakuasaan-Nya dan ketidak
terbatasannya Allah. Di sini penulis tidak beruhasa menjadi super hero
kesiangan yang berusaha membela Allah terhadap tuduhan atau kecurigaan manusia
yang mengalami penderitaan yang begitu luar biasa, namun sangat tidak adil jika kita hanya melihat
dari sudut pandang kita saja dalam melihat penderitaan yang terjadi. Pertanyan yang
keluar dari diri kita terhadap penderitaan itu sangat wajar, namun itu tidak
menjadikan kita egois untuk mengabaikan aspek lain atau mengabaikan hal besar
yang kita peroleh dari apa yang kita alami. Karena ada ungkapan yang mengatakan
“jika ingin mengambil mutiara jangan melihat kulit kerangnya”. Diperlukan sudut
pandang yang berbeda dalam melihat penderitaan yang terjadi, kita harus rendah
hati dengan melepas terlebih dahulu kaca mata argumen kita.
Kaca mata Sudut pandang yang harus digunakan adalah sudut pandang dari Alah
sebagai Pribadi yang dalam hal ini sedang kita “adili” mengenai teodise yang
ada. Dalam sudut pandang yang kita gunakan saat ini kita memiliki satu kata
kunci yaitu “kedaulatan”, kata kunci yang akan membawa kita kepada pemahamand
yang baru, tentu kita perlu menyediakan tenpat sedikit saja di dalam gelas pikiran kita untuk bisa
menerima pemahaman ini, jika kita paksakan gelas pikiran kita yang masih penuh
dengan pemikiran lama kita maka akan sia-sia anda menghabiskan waktu membaca
tuliisan ini, setidaknya tuangkan setengah terlebih dahulu pemikiran yang sudah
dibangun dalam pikiran itu.kata
“Kedaulatan” Allah memberikan posisi dimana Allah adalah nilai tertinggi
di dalam dan di atas alam semesta dengan kemutlakan itu maka Allah itu adalah
mutlak, kekal dan tidak terbatas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Allah
adalah ya ng tertinggi di atas segalanya, sehingga selain dari pada Allah
sifatnya adalah fana.
Kedaulatan Allah tidak hanya sekedar berbicara mengenai
Allah memiliki kuasa dan hak untuk mengatur semua hal, tetapi bahwa Allah
memang mengatur segala segala hal, demi
kebijaksanaan dan maksud-Nya yang kudus.
2. Allah berkuasa
Atas malaikat-malaikat Iblis (Setan-setan dan Roh-Roh Jahat)
Setan-setan atau Roh jahat itu nyata dan tertulis di
dalam alkitab (Mat. 8:31, Yak. 2:19, Mat. 10:1, Luk. 7:21, Mat. 25:41). Bukti kedaulatan
Allah atas para malaikat-malaikat Iblis
(Setan-setan dan Roh-Roh Jahat) sangat jelas terlihat dalam Matius 8:29-32. Peristiwa
di mana ada seorang lelaki yang kerasukan ribuan setan, ungkapan dari roh-roh
jahat itu memberikan bukti mengenai kekuassaan Tuhan atas mereka, “ apa
urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Ada kah Engkau ke mari untuk menyiksa
kami sebelum waktunya?” pernyataan mereka menunjukan bahwa ada waktu tertentu
yang sudah pasti di mana mereka akan di siksa sesudah waktunya. Yesus hanya
menggunakan kata “pergilah” maka semua roh jahat itu taat kepada-Nya dan pergi
meninggalkan mereka. Sangat nyata kedaulatan Allah atas malaikat-malaikat Iblis
(Setan-setan dan Roh-Roh Jahat).
3. Allah berkuasa atas tangan Iblis di dalam Penganiayaan
Rasul Petrus
menggambarkan penderitaan itu seperti rahang singa yang mencoba menelan dan
menghancurkan iman orang-orang percaya kepada Kristus. Alkitab memberikan
jawaban mengenai penderitaan itu dibawah kehendaknya Allah, 1 Petrus 3:17,
menjelaskan jika kita menderita karena berbuat baik itu adalah hal yang
dikehendaki Allah memberikan pengertian jika saat kita berbuat baik kita
mengalami penderitaan itu karena kehendak Allah maka kita akan menderita, jika
kita berbuat baik Allah tidak menghendaki menderita maka kita tidak akan
menderita. Maka dapat dikatakan bahwa penentunya adalah kehendak Allah, bukan
harang singa yang mengaum tersebut.
4. Allah berkuasa atas kuasa Iblis untuk mengambil hidup
Iblis memuliki kuasa untuk membunuh manusia,
Yohanes 8:44 ada kalimat yang menyatakan “Iblis adalah pembunuh manusia sejak
semula”, wahyu 2:10 “Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antara mu ke
dalaam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama
sepuluh hari, hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan
kepada mahkota kehidupan. Namun di atas segalanya itu tidak ada yang hidup dan
tidak ada yang mati tanpa keputusan kedaulatan Allah (Ul. 32:39). Tidak ada dewa,
tidak ada setan, tidak ada Iblis yang dapat melempar seseorang ke dalam
kematian jika Allah menghendaki orang tersebut hidup (1 Samuel 2:6))
Allahlah memberikan keputusan akhir mati hidupnya manusia bukan Iblis. Hidup kita
semata-mata ada dalam tangan-Nya bukan dalam tangan Iblis. Allah berdaulat atas
kuasa Iblis untuk mengambil hidup.
5. Allah berkuasa atas tangan Iblis di dalam bencana Alam
Berbagai
bencana alam terjadi itu semua tidak terlepas dari campur tangan Iblis yang
mendapat Izin Tuhan, sebagaimana kisah Ayub (Ayb. 1:11-12). Tanpa seizin Tuhan
maka Iblis tidak akan pernah bisa melakukan itu semuanya. Bukti kuat yang
menyatakan kekuasaan itu adalah milik Allah terlihat dari ungkapan Ayub yang
menyatakan Tuhan memberi dan Tuhan menngambil terpujilah nama Tuhan, sangat
jelas hanya Tuhan yang berdaulat bukan Iblis. Allah sebagai penguasa dari alam
semesta ini tidak dapat diragukan lagi, bagaimana Yesus menghardik air danau
yang mengamuk menjadi teduh dengan dua kata, “diam dan tenanglah” (Mrk. 4:39; Mzm.
135:5-7; 148:7).
6. Allah berkuasa atas kuasa Iblis untuk mendatangkan
penyakit
Alkitab
dengan jelas menyatakan bahwa Iblis dapat menimbulkan penyakit. Kis 10:38
menjelaskan kuasa Tuhan atas orang sakit dan menjelaskan tentang Iblis
menguasai orang sakit. Dalam lukas 13:16 mengisahkan tentang seorang perempuan
yang bongkok delampan belas tahun diikat oleh Iblis. Dengan demikian tidak ada
salah nya jika kita katakan bahwa Iblis penyebab banyak penyakit. Yang harus
kita yakini adalah bahwa Iblis tidak berdaulat atas penyakit kita. Kita Ayub
memberikan pelajaran bagi kita saat Iblis menghadap yang kedua kalinya, Izin
Tuhanlah yang menjadi akses masuk Iblis untuk menyerang tubuh Ayub dengan
penyakit (Ayb.2:7). Keberdaulatan Tuhan tidak akan pernah di bandingan dengan
apapun, Iblis yang memiliki banyak rancangan jahat terhadap manusia tidak akan
pernah dapat terwujud tanpa izin Tuhan.
7. Allah
berkuasa atas penggunaan Binatang dan Tumbuh-tumbuhan oleh Iblis
Iblis yang
digambarkan sebagai binatang seperti singa dalam 1 Petrus 5:8, sebagai seekor
naga dalam Wahyu 12:9, kisah dalam kejadian 3 membuktikan bahwa Iblis ddapat
menggunakan binatang-binatang ataupun tumbuhan. Binatang-binatang yang dapat
menyebabkan kematian yang dapat menyebarkan penyakit. Kekuasaaan tertinggi
tetap dipegang oleh Tuhan dalam hal ini Iblis hanya pribadi yang menumpang
menggunakan ciptaan Tuhan untuk tujuannya. Namun Iblis tidak dapat membuat
mereka melakukan sesuatu yang dilarang Tuhan untuk dilakukan. Lewiatan yang
digunakan Allah bermain-main dalam laut (Mzm. 104:26), nyamuk-nyamuk kecil
menyerbu seluruh Mesir (Kel. 8:16-17). Dalam kisah Yunus yang di telan ikan
besar karena penentuan Allah (Yu. 1:17) dan dimuntahkan oleh ikan itu (Yun
2:10), penentuan Tuhan mengenai pohon jarak dan ulat (Yun 4:6-7), semuanya taat
akan penentuan Tuhan. Iblis mungkin dapat mencuri kesempataan dalam hal ini,
namun Allahlah yang memiliki kedaulatan.
8. Allah
berkuasa atas godaan Iblis untuk berbuat dosa
Banyak penderitaan
kita datang dari dosa orang lain
terhadap kita, dan dari dosa kita sendiri. Iblis di sebut sebagai pencoba dan
penggoda (Mat. 4:3; 1 Tes 3:5) terlihat dari awal manusia digoda oleh Iblis (Kej
3:14-19; Rm. 8:21-23). Penyaliban yang Yesus alami itu bukan tanggung jawab
Iblis yang merasuki Yudas untuk menjualnya itu semuanya adalah penggenapan yang
harus terjadi (Kis. 1:16;Kis 2:23), Allahlah yang bertanggung jawab atas
penyaliban Yesus. Dalam penyangkalan Petrus terhadap Yesus Iblis terlibat di
dalamnya, namuan Yesus memberikan batasan kepada Iblis untuk tidak terlalu jauh
bertindak, doa Yesus untuk Petrus supaya Iman Petrus tidak gugur, bukti
kedaulatan penuh Yesus terwujud dari kalimat “kamu akan jatuh tapi tidak akan tergeletak”. Kembali lagi
Allah yang berdaulat.
9. Allah berkuasa atas kuasa Iblis untuk pembutaan
Pikiran
Penderitaan
yang paling buruk dari semua adalah penderitaan kekal di neraka, dan Iblislah
yang sudah seharusnya mengalami itu (Why. 20:10). Dengan demikian maka sasaran
dia adalah membawa orang sebanyak-banyaknya kesana. Karena Injil merupakan
kekuatan Allah untuk menyelamatkan maka Iblis berusaha membutakan orang
terhadap Injil. Sebagiman yang dikatakan dalam surat 2Korintus 4:4, ada
orang-orang yang pikirannya dibutakan oleh ilah-ilah jaman (Iblis), ini
merupakan senjata Iblis yang sangat berbahaya dan sangat efektif membawa banyak
orang ke neraka, dalam 2 ayat selanjutnya digambarkan kuasa Allah untuk
menghapus kebutaan yang berdaulat atas kuasa Iblis yang membutakan itu. Penyelamatan
dalam keberdosaan sebagai wujud belaskasihn Allah kepada kita, Injil menjadi
sarana untuk membukakan kebutaan kita, terwujud otoritas kedaulatan Allah yangb
memberikan kehidupan dan penglihatan. Iblis adalah musuh yang sangat mengerikan
terhadap Injil. Tapi Iblis tidak berdaulat Allahlah yang berdaulat.
10.
Allah berkuasa atas jerat Rohani Iblis
Iblis
memperbudak manusia dalam dua cara yaitu: pertama, dengan kesengsaraan dan penderitaan, yang
membuat kita berpikir bahwa tidak ada Allah yang layak dipercaya. Kedua adalah
dengan kesenangan dan kemakmuran, yang membuat kita berpikir kita sudah
memiliki semuanya sehingga tidak ada Allah yang relevan. Kita harus mengakui
Allah itu baik, kita harus mengakui bahwa kesenangan dan kemakmuran hidup tidak
sebanding dengan nilai Allah. Pertobatan merupakan jalan untuk terhindar dari
jerat Iblis. Namun Iblis akan berusaha menghalangi itu. Tuhan akan memberikan
kesempatan untuk orang bertobat (2 Tim 2:24-26) ini merupakan bentuk dari kedaulatan Tuhan yang
tidak dapat dilawan oleh Iblis jika Tuhan sudah memberikan pertobatan. Kita akan
terlepas dari jerat si jahat karena kedaulatan Tuhan.
Keterkaitan
teodise dengan kedaulatan Allah sangat erat. Pertanyaan
besar mengenai ketidak adilan seperti yang Ayub rasakan (Ay.10) dan beberapa
tokoh Alkitab seperti Yeremia (Yer. 12:1), Habakuk (Hab.1:12-13) dan Pemazmur
(Mzm 73) dan orang-orang benar dan beriman di sepanjang masa. Ketidak adilan
yang mereka rasakan tersebut sesungguhnya menunjukkan Keadilan Allah itu
sendiri. Bukti dari keadilan Allah yang mutlak itu adalah pemeliharaan Allah
kepada orang yang mengalami penderitaan tersebut dari pemeliharaan Allah di
dalam ketidak adilan membuktikan sifat Allah yang adil. Kekonsistenan Allah
diwujudkan dengan tetap membedakan mana yang benar dan mana yang salah, akan
tetap dinyatakan siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku pelanggaran,
yang mendakwa dan yang terdakwa. Kemutlakan dan kekonsistenan sifat Allah dalam
Keadilan, dengan demikian dibuktikan oleh Allah dengan cara membenarkan, memperbaiki,
memulihkan, dan menegakan Keadilan yang manusia anggap suatu ketidak adilan.
Sekalipun penderitaan diizinkan Tuhan terjadi kepada orang benar, baik melalui
kejahatan, kesakitan, ataupun bencana alam, namun penderitaan itu tidak akan
membinasakan melainkan orang benar akan hidup dengan keyakinannya di bawah
naungan Keadilan Allah. Penderitaan dan ketidak adilan yang dirasakan
orang-orang benar seperti Ayub, Habakuk, Yeremia dan pemazmur atau orang-orang
benar pada masa sekarang ini disertai dengan karya penyelamatan Allah bagi
mereka.
Tindakan Allah dalam Keadilan yang Ia lakukan
menekankan kebenaran-Nya dalam kekudusan-Nya untuk memberikan pengertian kemahatinggian
dan ketidak terbatasan Allah kepada umat manusia. Penderitaan orang benar dalam
Keadilan Allah juga menjadi penderitaan bagi Allah, Sebagaimana penderitaan
yang Yeremia alami menjadi pencerminan solidaritas Allah kepada umat-Nya.
Penderitaan Yeremia harus menjadi ibarat tentang penderitaan Allah, yang karena
Keadilan-Nya umat Allah harus mengalami tragedy yang menyakitkan.[24]
Hal ini membuktikan bahwa Allah tetap menyertai umat-Nya di dalam
penderitaan. Kekudusan Allah tidak dapat dibandingkan dengan apapun, ukuran
kualitas moral tidak dapat menjadi ukuran kekudusan Allah karena kekudusan-Nya
berkaitan dengan kemuliaan-Nya dalam melakukan segala sesuatu. Dalam kekudusan
Allah, Ia tidak ada kompromi dengan hal-hal diluar dari sifatnya, termasuk
tidak kompromi dengan kejahatan yang menyebabkan penderitaan orang benar.
Perdian K.M. Tumanan, Masalah Dalam Kejahatan (Veritas: Jurnal dan Pelayanan, 2009), 171-187.
Meister, C. V, Introducing Philosophy of Religion (New York: Routledge, 2009),
129.
Alvin C. Plantinga, Allah,
Kebebasan, dan Kejahatan (God, Freedom, and Evil), (Surabaya: Momentum,
2003), 3.
G. Johannes Botterweck, Theological Dictionary of The Old Testament
Vol. IV (Grand Rapids: Michigan Cambridge, 1988), 87.
B. Johnson, mišp̠āṭ (מִשְׁפָּט (Mišp̠āṭ) ), šep̠̠̠̠̱̱eṭ (שֶׁפֶט), dalam Theological Dictionary
of The Old Testament Volume IX,
(Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2003), 87-89.
Genhard von Rad, Old Testament Vol I: The Theology Of Israel’s Historical Traditions
(London:Harpes & Row, Publishers, 1962), 370-371.
Wright Kuiper, Perjanjian Lama Terhadap Sekitarnya, (Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 1995), 137.
Robert Gordis, The Book Of God and Man: A Study Of Job (London: Chicago Press,
1965),136.
Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama, 101.