Ketidak percayaan akan keberadaan
Allah biasanya dilatar belakangi dengan pemahaman berdasarkan apa yang dialami.
Pengalaman pahit yang membuat keyakinan yang kuat bahwa Allah itu tidak ada. Pengalaman
yang menyakitkan dan mengecewakan. Terlebih lagi Keyakinan akan ketidak adaan
Tuhan tersebut dibangun atas dasar argumen klasik yang dinyatakan oleh seorang
Filsuf yang bernama David Hume dalam bukunya yang berjudul Dialouge concering Natural Religion yang diedit oleh Richard Popkin[1] , kalimat yang dicetuskan oleh Epicurus
sangat memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran-pemikiran akan ketidak
adaan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami penderitaan. Dengan demikian
kejahatan dan penderitaan menjadi persoaal yang terbesar di dunia, persoalan
ini menjadi persolaan yang bersifat filosif ataupun pribadi.
Jika
dengan jujur untuk mengumpulkan pandangan bahwa Allah tidak ada yang dilatar
belakangi karena penderitaan dan kejahatan maka tidak akan ada hentinya, namun
dalam tulisan ini akan dimunculkan beberapa orang yang memiliki pandangan
menganai Allah itu tidak ada yang didasari dari argumen dari Davi Hume. Seorang
wartawan bernama Ron Rosenbaum[2] mengungkapkan
“jika Allah adalah Allah, dia tidak baik, jika Allah baik, dia bukan Allah. Anda
tidak dapat memilih keduanya, khususnya setelah bencana di Samudera Hidia”.
Filsuf yang bernama J.L mackie berusaha melawan Allah dalam bukunya yang
berjudul The Miracle Of Theisme
dengan memberikan pernyataan “jika ada Allah yang baik dan berkuasa, dia tidak
akan mengizinkan kejahatan yang tidak bermakna ini, tetapi karena ada banyak
kejahatan yang tidak bermakna dan tidak dapat dibenarkan, maka Allah tradisional yang baik dan
berkyasa tidak mungkin ada.[3]
Pandangan-pandangan tersebut
dianggap salah karena memiliki kelemahan yang besar. Bukan hanya karena
seseorang tidak dapat melihat atau memikirkan sebuah alasan mengapa Allah dapat
mengizinkan seseuatu terjadi tidak berarti tidak ada Allah. Jika pikiran kita tidak dapat memahami kedalaman alam semesta untuk
mendapatkan jawaban-jawaban yang baik bagi penderitaan, maka jawabanannya tidak
ada!
Jika penderitaan dan kejahatan merupakan
alasan bahwa Tuhan tidak ada, mengapa
kita tidak melihat dari sisi sebaliknya, bahwa penderitaan itu adalah bukti
bagi keberadaannya Allah. Ungkapan yang begitu luar biasa diungkapkan oleh C.S Lewis
yang dapat menunjukan bahwa pandangan orang-orang atheis bahwa Tuhan tidak ada
dengan dasar penderitaan dan kejahatan menjadi sangat sederhana, “argumen
saya melawan Allah adalah alam semesta terlihat kejam dan tidak adil. Tetapi bagaimana
saya dapat mendapatkan konsep adil dan tidak adil? Dengan apa saya
membandingkan alam semesta ini ketika saya menyebutnya tidak adil? Tentu saja
saya meninggalkan konsep keadilan saya dengan mengatakan bahwa itu hanya konsep
buatan saya sendiri. Tetapi jika saya melakukannya, maka argumen saya melawan
Allah akan runtuh jug-karena argumen tersebut bergantung kepada kenyataan bahwa
dunia sungguh tidak adil. Bukan hanya ia tidak memenuhi keinginan saya..
akibatnya atheisme berubah menjadi terlalu sederhana.[4]
Dengan ungkapan dari Lewis menjadikan pandangan dari orang-orang atheis
menjadi semakin lemah, saat mereka menuntut keadilan mereka tidak memiliki
tempat untuk menjadi patokan atau standar dari keadilan tersebut, bahkan jika
mereka marah akan penderitaan dan kejahatan mereka tidak memiliki hak untuk
komplain terhadap penderitaan dan kejahatan karena itu semua adalah alasan bagi
mereka untuk meyakini bahwa Tuhan tidak ada. Seseorang tidak akan pernah bisa
menuntut sesuatu kepada pribadi yang dianggapnya tidak ada. Jika orang-orang
atheis tetap bersikeras meminta keadilan terhadap penderitaan dan kejahatan maka
atheisme secara tidak langsung diruntuhkan oleh diri mereka sendiri. Mengapa
dikatakan atheisme runtuh karena mereka sadar atau tidak sadar mereka mengakui
bahwa Tuhan itu ada, status mahkluk yang paling munafik dapat dimateraikan
kepada orang-orang atheis.
Persoalan mengenai penderitaan,
kejahatan dan ketidak adilan adalah persoalan yang bersifat universal yang
dapat terjadi kepada oarang yang percaya kepada Tuhan ataupun orang atheis. Maka
dapat di simpulkan bahwa tidak menjadi jaminan seseorang tidak akan mengalami
penderitaan, kejahatan dan ketidak adilan. Bahkan menurut saya secara pribadi
orang atheis adalah orang yang paling malang dalam dunia ini, alasannya adalah
jika dua orang yang memiliki keyakinan berbeda yang satu adalah orang atheis
dan yang satu adalah orang yang percaya kepada Tuhan, pada saat mengalami permasalahan
yang sama-sama besar maka akan ada perbedaan yang sangat besar terlihat dari
keduanya. Saat permasalahan tersebut sudah menemui jalan buntu maka orang
atheis tersebut kepada siapa lagi dia berharap saat tidak ada lagi yang dapat
menolongnya, meminta tolong kepada Tuhan dia tidak percaya Tuhan itu ada. Namun
berbeda dengan orang yang percaya kepada Tuhan, saat jalan buntu orang yang
percaya kepada Tuhan, masih memiliki harapan karena masih ada pribadi yang
dipercaya yang diyakini dapat menolongnya (bukan menyatakan Tuhan adalah
solusii yang terakhir, namun Tuhan menjadi prioritas dalam berbagai aspek). Perbedaan
yang begitu mencolok tersebut menjadi perbandingan antara orang yang percaya
kepada Tuhan dengan atheis. Harapan yang begitu jelas sangat terlihat karena
Allah tidak melepaskan tanggung jawab atas penderitaan, kejahatan dan ketidak
adilan di dunia ini. Filsuf bernama Peter Kreeft menyatakan bahwa
Allah orang Kristen secara sengaja datang ke dunia untuk mengalami penderitaan
manusia. Di kayu salib Yesus menderita kematian dengan luka
yangmengerikan darah yang terus mengalir dari setiap luka yang dideritanya,
bahkan penderitaan itu sudah dialaminya sebelum penganiayaan itu terjadi. Terlihat
bagaimana ketakutan Yesus dan permohonan Yesus supaya cawan itu berlalun
dari-Nya (Mrk. 14:33-34; Luk. 22:42-44). Penderitaan yang Yesus alami bukan
hanya penderitaan secara Fisik, namun juga secara psikilogis karena harus
mengalami keterpisahan dengan Allah Bapa, teriakan Yesus diatas kayu salib
dengan lantang mengatakan Allah ku, Allah ku untuk apa Engkau meninggalkan Aku?
Bill Lane mengatakan bahwa itu adalah sebuah hubungan yang sangat dalam.dalam
ungkapannya Bill Lane mengatakan bahwa teriakan tersebut memiliki autentisitas
yang kejam karena Yesus mati bukan karena menolak Allah. Keterpisahan dengan
Allah adalah penderitaan yang paling mengerikan yang Yesus rasakan dibandingkan
dengan penderitaan fisik yang dialami. Dapat disimpulkan bahwa penderitaan yang
sejati itu bukan berbicara secara lahiriah namun penderitaan yang sejati adalah
keterppisahan dengan Allah/ ketidak hadirah Allah dalam hidup kita. Penderitaan
yang Yesus alami adalah bentuk dari tanggung jawab Allah atas penderitaan dan
kejahatan, Yesus harus menebus dosa-dosa manusia sehingga manusia dapat
mengakhiri kejahatan dan penderitaan tanpa mengakhiri manusia. Allah
memperhatikan setiap penderitaan dan kejahatan yang manusia alami dengan sangat
serius sehingga Dia rela menanggungnya sendiri.
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Albert Camus, “Allah manusia juga menderita dengan sabar,
kejahatan dan kematian tidak dapat dituduhkan kepada-Nya karena Dia menderita
dan mati. Malam di Golgota adalah malam yang penting dalam sejarah manusia
hanya karena yang Ilahi meninggalkan haknya dan menghidupi keputusasaan dan
derita kematian hingga akhir. Itulah yang jelaskan “Lama Sabakhtani” dan keraguan Kristus yang menakutkan dalam
penderitaan.”[5]
Ini menjadi suatu penguatan bagi setiap manusia yang mengalami penderitaan.
Dostovesky menjelaskan, saya percaya
seperti seorang anak kecil bahwa penderitaan akan disembuhkan sehingga semua
kontradiksi manusiawi dan penghinaan akan hilang seperti sebuah ilusi, seerti
kebohongan pikiran euclidean, bahwa
pada dunia pada saat tibanya harmoni kekal, sesuatu yang begitu berharga
akan datang memusnahkan hari kita, meredakan semua kemarahan, menebus semua
kejahatan manusia, semua darah yang
telah mereka tumpahkan, itu akan memberikan pengampunan dan membenarkan semua
yang telah terjadi. Sebagai penutup sebaris kalimat indah dari C.S Lewis yang
menjelaskan kekalahan kejahatan dan penderitaan yang ultimat. Kejahatan bukan
hanya diakhiri tetapi juga dikalahkan sehingga menjadikan kehidupan penuh
dengan sukacita. C.S Lewis mengatakan “mereka berkata tentanng penderitaan
sementara. Tidak ada kesenangan pada masa depan yang dapat menebusnya. Mereka tidak
tahu bahwa sorga, ketika mendapatkan, akan menjangkau ke belakang dan mengubah
semuanya bahkan penderitaan tersebut jadi kemuliaan.[6]
[1]
Timothy Keller, Rasio Bagi Allah (Surabaya:Momentum,2013),271.
[2]
Ron Ronbaum, “Disater Ignites Debate: was
God in the Tsunami? (New York Observer, 10 Januari 2005)
[3]
Daniel Howard-Snyder, God, Evil,Suffering
[4]
C.S. Lewis, Mere Christianity (Macmillan,
19600),31.
[6] Timothy
Keller, Rasio Bagi Allah (Surabaya:Momentum,2013),40-50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar