Kamis, 29 Juni 2017

BAGAIMANA BISA ALLAH YANG BAIK DAPAT MENGIZINKAN PENDERITAAN? (Melihat Allah yang baik yang mengizinkan penderitaan dari sudut pandang Filsafat)



            Ketidak percayaan akan keberadaan Allah biasanya dilatar belakangi dengan pemahaman berdasarkan apa yang dialami. Pengalaman pahit yang membuat keyakinan yang kuat bahwa Allah itu tidak ada. Pengalaman yang menyakitkan dan mengecewakan. Terlebih lagi Keyakinan akan ketidak adaan Tuhan tersebut dibangun atas dasar argumen klasik yang dinyatakan oleh seorang Filsuf yang bernama David Hume dalam bukunya yang berjudul Dialouge concering Natural Religion yang diedit oleh Richard Popkin[1] , kalimat yang dicetuskan oleh Epicurus sangat memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran-pemikiran akan ketidak adaan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami penderitaan. Dengan demikian kejahatan dan penderitaan menjadi persoaal yang terbesar di dunia, persoalan ini menjadi persolaan yang bersifat filosif ataupun pribadi.
Jika dengan jujur untuk mengumpulkan pandangan bahwa Allah tidak ada yang dilatar belakangi karena penderitaan dan kejahatan maka tidak akan ada hentinya, namun dalam tulisan ini akan dimunculkan beberapa orang yang memiliki pandangan menganai Allah itu tidak ada yang didasari dari argumen dari Davi Hume. Seorang wartawan bernama Ron Rosenbaum[2] mengungkapkan “jika Allah adalah Allah, dia tidak baik, jika Allah baik, dia bukan Allah. Anda tidak dapat memilih keduanya, khususnya setelah bencana di Samudera Hidia”. Filsuf yang bernama J.L mackie berusaha melawan Allah dalam bukunya yang berjudul The Miracle Of Theisme dengan memberikan pernyataan “jika ada Allah yang baik dan berkuasa, dia tidak akan mengizinkan kejahatan yang tidak bermakna ini, tetapi karena ada banyak kejahatan yang tidak bermakna dan tidak dapat dibenarkan, maka          Allah tradisional yang baik dan berkyasa tidak mungkin ada.[3]
            Pandangan-pandangan tersebut dianggap salah karena memiliki kelemahan yang besar. Bukan hanya karena seseorang tidak dapat melihat atau memikirkan sebuah alasan mengapa Allah dapat mengizinkan seseuatu terjadi tidak berarti tidak ada Allah. Jika pikiran kita tidak dapat memahami kedalaman alam semesta untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang baik bagi penderitaan, maka jawabanannya tidak ada!

 Jika penderitaan dan kejahatan merupakan alasan bahwa  Tuhan tidak ada, mengapa kita tidak melihat dari sisi sebaliknya, bahwa penderitaan itu adalah bukti bagi keberadaannya Allah. Ungkapan yang begitu luar biasa diungkapkan oleh C.S Lewis yang dapat menunjukan bahwa pandangan orang-orang atheis bahwa Tuhan tidak ada dengan dasar penderitaan dan kejahatan menjadi sangat sederhana, “argumen saya melawan Allah adalah alam semesta terlihat kejam dan tidak adil. Tetapi bagaimana saya dapat mendapatkan konsep adil dan tidak adil? Dengan apa saya membandingkan alam semesta ini ketika saya menyebutnya tidak adil? Tentu saja saya meninggalkan konsep keadilan saya dengan mengatakan bahwa itu hanya konsep buatan saya sendiri. Tetapi jika saya melakukannya, maka argumen saya melawan Allah akan runtuh jug-karena argumen tersebut bergantung kepada kenyataan bahwa dunia sungguh tidak adil. Bukan hanya ia tidak memenuhi keinginan saya.. akibatnya atheisme berubah menjadi terlalu sederhana.[4] Dengan ungkapan dari Lewis menjadikan pandangan dari orang-orang atheis menjadi semakin lemah, saat mereka menuntut keadilan mereka tidak memiliki tempat untuk menjadi patokan atau standar dari keadilan tersebut, bahkan jika mereka marah akan penderitaan dan kejahatan mereka tidak memiliki hak untuk komplain terhadap penderitaan dan kejahatan karena itu semua adalah alasan bagi mereka untuk meyakini bahwa Tuhan tidak ada. Seseorang tidak akan pernah bisa menuntut sesuatu kepada pribadi yang dianggapnya tidak ada. Jika orang-orang atheis tetap bersikeras meminta keadilan terhadap penderitaan dan kejahatan maka atheisme secara tidak langsung diruntuhkan oleh diri mereka sendiri. Mengapa dikatakan atheisme runtuh karena mereka sadar atau tidak sadar mereka mengakui bahwa Tuhan itu ada, status mahkluk yang paling munafik dapat dimateraikan kepada orang-orang atheis.  
            Persoalan mengenai penderitaan, kejahatan dan ketidak adilan adalah persoalan yang bersifat universal yang dapat terjadi kepada oarang yang percaya kepada Tuhan ataupun orang atheis. Maka dapat di simpulkan bahwa tidak menjadi jaminan seseorang tidak akan mengalami penderitaan, kejahatan dan ketidak adilan. Bahkan menurut saya secara pribadi orang atheis adalah orang yang paling malang dalam dunia ini, alasannya adalah jika dua orang yang memiliki keyakinan berbeda yang satu adalah orang atheis dan yang satu adalah orang yang percaya kepada Tuhan, pada saat mengalami permasalahan yang sama-sama besar maka akan ada perbedaan yang sangat besar terlihat dari keduanya. Saat permasalahan tersebut sudah menemui jalan buntu maka orang atheis tersebut kepada siapa lagi dia berharap saat tidak ada lagi yang dapat menolongnya, meminta tolong kepada Tuhan dia tidak percaya Tuhan itu ada. Namun berbeda dengan orang yang percaya kepada Tuhan, saat jalan buntu orang yang percaya kepada Tuhan, masih memiliki harapan karena masih ada pribadi yang dipercaya yang diyakini dapat menolongnya (bukan menyatakan Tuhan adalah solusii yang terakhir, namun Tuhan menjadi prioritas dalam berbagai aspek). Perbedaan yang begitu mencolok tersebut menjadi perbandingan antara orang yang percaya kepada Tuhan dengan atheis. Harapan yang begitu jelas sangat terlihat karena Allah tidak melepaskan tanggung jawab atas penderitaan, kejahatan dan ketidak adilan di dunia ini. Filsuf bernama Peter Kreeft menyatakan bahwa Allah orang Kristen secara sengaja datang ke dunia untuk mengalami penderitaan manusia. Di kayu salib Yesus menderita kematian dengan luka yangmengerikan darah yang terus mengalir dari setiap luka yang dideritanya, bahkan penderitaan itu sudah dialaminya sebelum penganiayaan itu terjadi. Terlihat bagaimana ketakutan Yesus dan permohonan Yesus supaya cawan itu berlalun dari-Nya (Mrk. 14:33-34; Luk. 22:42-44). Penderitaan yang Yesus alami bukan hanya penderitaan secara Fisik, namun juga secara psikilogis karena harus mengalami keterpisahan dengan Allah Bapa, teriakan Yesus diatas kayu salib dengan lantang mengatakan Allah ku, Allah ku untuk apa Engkau meninggalkan Aku? Bill Lane mengatakan bahwa itu adalah sebuah hubungan yang sangat dalam.dalam ungkapannya Bill Lane mengatakan bahwa teriakan tersebut memiliki autentisitas yang kejam karena Yesus mati bukan karena menolak Allah. Keterpisahan dengan Allah adalah penderitaan yang paling mengerikan yang Yesus rasakan dibandingkan dengan penderitaan fisik yang dialami. Dapat disimpulkan bahwa penderitaan yang sejati itu bukan berbicara secara lahiriah namun penderitaan yang sejati adalah keterppisahan dengan Allah/ ketidak hadirah Allah dalam hidup kita. Penderitaan yang Yesus alami adalah bentuk dari tanggung jawab Allah atas penderitaan dan kejahatan, Yesus harus menebus dosa-dosa manusia sehingga manusia dapat mengakhiri kejahatan dan penderitaan tanpa mengakhiri manusia. Allah memperhatikan setiap penderitaan dan kejahatan yang manusia alami dengan sangat serius sehingga Dia rela menanggungnya sendiri.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Albert Camus, “Allah manusia juga menderita dengan sabar, kejahatan dan kematian tidak dapat dituduhkan kepada-Nya karena Dia menderita dan mati. Malam di Golgota adalah malam yang penting dalam sejarah manusia hanya karena yang Ilahi meninggalkan haknya dan menghidupi keputusasaan dan derita kematian hingga akhir. Itulah yang jelaskan “Lama Sabakhtani” dan keraguan Kristus yang menakutkan dalam penderitaan.”[5] Ini menjadi suatu penguatan bagi setiap manusia yang mengalami penderitaan.
           
Jika kita memiliki Allah yang cukup agung dan transenden sehingga kita bisa marah ketika Dia tidak mengentikan kejahatan dan penderitaan di dunia, maka kita pada saat yang sama mrmiliki Allah yang sama memiliki Allah yang cukup Agung dan transenden untuk memiliki alasan-alasan yang baik dalam mengizinkan penderitaan dan kejahatan berlanjut yang tidak dapat kita pahami. Yesuus mati di atas kayu salib, maka kita memiliki penghiburan dan kekuatan untuk menghadapi realitas-realitas kehidupan  yang kejam di dunia. Kita dapat mengetahui bahwa Allah adalah Immanuel dalam  penderitaan yang paling buruk sekalipun.
            Dostovesky menjelaskan, saya percaya seperti seorang anak kecil bahwa penderitaan akan disembuhkan sehingga semua kontradiksi manusiawi dan penghinaan akan hilang seperti sebuah ilusi, seerti kebohongan pikiran euclidean,  bahwa  pada dunia pada saat tibanya harmoni kekal, sesuatu yang begitu berharga akan datang memusnahkan hari kita, meredakan semua kemarahan, menebus semua kejahatan manusia,  semua darah yang telah mereka tumpahkan, itu akan memberikan pengampunan dan membenarkan semua yang telah terjadi. Sebagai penutup sebaris kalimat indah dari C.S Lewis yang menjelaskan kekalahan kejahatan dan penderitaan yang ultimat. Kejahatan bukan hanya diakhiri tetapi juga dikalahkan sehingga menjadikan kehidupan penuh dengan sukacita. C.S Lewis mengatakan “mereka berkata tentanng penderitaan sementara. Tidak ada kesenangan pada masa depan yang dapat menebusnya. Mereka tidak tahu bahwa sorga, ketika mendapatkan, akan menjangkau ke belakang dan mengubah semuanya bahkan penderitaan tersebut jadi kemuliaan.[6]




[1] Timothy Keller, Rasio Bagi Allah (Surabaya:Momentum,2013),271.
[2] Ron Ronbaum, “Disater Ignites Debate: was God in the Tsunami? (New York Observer, 10 Januari 2005)
[3] Daniel Howard-Snyder, God, Evil,Suffering
[4] C.S. Lewis, Mere Christianity (Macmillan, 19600),31.

[6] Timothy Keller, Rasio Bagi Allah (Surabaya:Momentum,2013),40-50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar