Minggu, 05 November 2017

MASIH RELEVANKAH PL??? (i)
PENDAHULUAN
Keyakinan umat Kristen terhadap Alkitab sebagai Firman Allah adalah suatu hal yang mutlak. Alkitab berisi Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB), dua bagian kitab yang ditulis di masa yang berbeda dan penulisnya adalah orang-orang yang berbeda. Lalu bagaimanakah hubungan antara PL dan PB? Jika kita dapat memahami benang merah yang ada antara PL dan PB, maka “Gereja-gereja” tidak perlu beradu argument menunjukan siapa yang paling benar dalam menafsirkan alkitab mempertahankan dogma masing-masing. Kebenaran Firman Tuhan bersifat Mutlak yang sangat akurat dan tidak terbatas,[1] hanya saja terkadang manusianya yang mempermasalahkan perbedaan penafsiran dari satu tafsiran dengan tafsiran yang lain.
Dalam dewasa ini banyak pertanyaan maupun pernytaan mengenai Pl dan praktek-prakteknya  tidak lagi relevan dengan masa kini, namun dari sisi yang berbeda ada juga yang semakin memviralkan PL dan segala prosesi yang ada di dalamnya. Jika kubu yang memiliki perbedaan pandangan ini tidak dapat saling menerima satu dengan yang lain maka dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Saat terjadi konflik maka “gereja” sebagai tubuh Kritus (bdg. 1 Korintus 12:1-31) tidak lagi dapat dikatakan sebagai alatnya Tuhan dan tidak menjalankan perintah Tuhan Yesus untuk saling mengasihi (bdg. Yoh. 15:9-17).
Pertanyaan yang dapat dipertanyakan untuk dapat memperoleh benang merah atas PL dan PB adalah masih Relevankah PL di masa perjanjian Baru? Dengan pertanyaan ini kita sebagai manusia masa kini harus menelaah dengan jujur dan dengan dasar firman Tuhan yang benar, tidak boleh hanya sebatas dogma keyakinan yang di utamakan. Kita harus objektif dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut, kita harus melihat secara keseluruhan tidak hanya sebagian-sebagian saja.
Saat kita berbicara tentang Alkitab maka kita tidak bisa mengabaikan salah satu dari kitab tersebut, kita harus dengan rendah hati menerima kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru seperti dua sisi mata koin yang tidak dapat dipisahkan, setiap bagiannnya memiliki pesan khusus bagi setiap orang yang membacanya. Untuk memahami PL dan PL dua bagian yang tidak dapat dipisahkan kita harus memiliki titik pusat sebagai acuan tujuan utama mengapa kitab ini sampai ada. Kita akan sepakat bahwa Yesus adalah titik Pusat dari pembahasan hubungan antara PL dan PB.
Saat menempatkan Yesus sebagai titik pusat maka kita akan mengetahui bahwa PL memiliki peranan yang sangat penting yang tidak dapat diganggu gugat lagi, karena PL memberikan catatan sejarah yang menjadi penuntun yang dapat di gunakan disepanjang masa. Dalam PL sangat jelas dicatat mengenai  Latar belakang Yesus. Segala nubuatan-nubuatan yang ada di dalam Perjanjian Lama semuanya mengarah kepada Mesias yaitu Yesus yang menjadi penebus umat manusia. Pentingnnya PL juga dapat dilihat dari sudut pandangan yang berbda diluar dari pada Kristosentris, PL menjadi cikalbkal atau dasar yang dapat digunakan untuk  pedoman kehidupan sosial.
Janji sebagai bentuk Kesinambungan antara PL dan PB
Keselarasan hakiki antara PL dan PB  terletak pada Allah sendiri, melalui janji-Nya yang diwujudkan di dalam Yesus Kristus. Namum sebelum sampai kepada Yesus Kristus (PB) kita harus mengtahui terlebih dahulu mengetahui janji-janji Allah dalam PL sebagai landasan yang menuju kepada penggenapan Yesus sang Mesias. Perjanjian Lama sangat menekankan pengharapan akan masa depan, akan datangnya seorang penebus dan pembebas bagi Bangsa Israel. Hal tersebut terlihat sangat jelas melalui tulisan-tulisan tertua, eskatologi para nabi dan disusul tulisan-tulisan terkemudian.  Karena jika dilihat secara keseluruhan Janji Allah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu Janji sebelum kedatangan Kristus dan setelah kedatangan Kristus. Perjanjian ini sepenuhnya adalah inisiatif Allah, Allahlah yang memulai menggagas permulaan perjanjian ini. perjanjian yang bersifat khusus antara Allah dan manusia yang dibuat bukan berdasarkan kesepakatan yang sejajar tetapi inisiatif dipegang oleh Allah dan didasarkan kerelaan-Nya mengikat diri dengan ciptaan-Nya.[2]
Perjanjian Allah pertama kali dinyatakan kepada Adam melalui larangan Allah kepada Adam untuk tidak memakan pohon pengetahuan tentang yang baik dan tentang yang jahat, meskipun dalam kitab Kejadian tidak dinyatakan langsung sebagai suatu perjanjian. Manusia diciptakan Tuhan karena Tuhan memiliki maksud dan tujuan, manusia menjadi agennya Tuhan, Adam merupakan pengantara pertama sebelum jatuh di dalam dosa. Kejatuhan manusia kedalam dosa menjadikan Allah berusaha memulihkan manusia. Sampai pada masa Nuh (Kejadian 9:9-12), Abraham/Patriak ( Kej 12:1-3), Musa (Kel 19:5-6), Daud/monarki (2 Samuel 7:12-17), Para Nabi (Yer. 31:31-34), Janji Tuhan tetap berlangsung secara berkelanjutan, janji yang di nyatakan itu berkaitan dengan janji  berkat, tanah dan keselamatan. Penantian penggenapan janji-janji Tuhan mengenai seseorang yang akan menyelamatkan umat manusia tergenapai di dalam diri Yesus yang dinyatakan di dalam PB.
Dalam Perjanjian Baru, berkesinambungan dengan tujuan atau pandangan Perjanjian Lama, yakni bahwa Perjanjian Baru mengutamakan penggenapan janji dan pengharapan-pengharapan yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Di kejadian 3:15 Allah mengumumkan permusuhan antara  setan dan umat manusia (protevangelium), kelanjutan dari pemberitaan itu adalah penggenapan kemenangan Yesus Kristus atas setan diatas kayu salib (KoL. 2:14-15; Ibr. 2:14),dengan kekalahan setan maka berdampak kepada keselamatan manusia, terjadi pemulihan hubungan antara manusia dengan Allah. Dalam perjanjian Baru Yesus lah sebagai Mesias yang menjadi penggenapan puncak sang penebus yang dinanti-nantikan dalam Perjanjian Lama. Yesus sebagai anak domba yang dikorbankan untuk menebus dosa umat manusia. Yohanes Pembaptis mengatakan secara langsung bahwa Yesus adalah "Anak Domba Allah". Kata-kata tersebut mempunyai arti yang besar bagi para pendengarnya karena seekor domba mempunyai fungsi sebagai korban penghapus dosa mulai dari zaman PL hingga saat Yohanes mengeluarkan perkataan itu. Jika Anda ingin mengerti dengan benar gambaran yang diberikan kepada Yesus ini dan apa yang sudah Dia perbuat untuk umat manusia, maka kita harus belajar tentang korban anak-anak domba dalam PL ( bdg. Imamat 4:32-35). Yesus sebagai penggenapan PL terbukti dari sebelum di lahirkan, setelah di lahirkan dan semasa hidup sampai kepada kematianNya, kebangkitan dan kenaikan. Kesibungan antara PL dan PB telah terlihat garis tangahnya, Penyelamatan oleh kasih karunia, penggenapan dan janji yang tidak dapat dipisahkan.
Sebagai orang Kristen yang meyakini Alkitab adalah kebenaran Firman Tuhan, maka dengan sikap hati yang teguh kita juga harus meyakini bahwa PL dan PB memiliki kesinambungan satu dengan yang lain.
kedua Perjanjian itu memiliki beberapa sudut pandang dan pola yang sama, bahwa keduanya berbicara hal yang sama mengenai masalah-masalah pokok, khususnya dalam hal hubungan Allah dan manusia, manusia dengan sesamanya, dan lain sebagainya. Dan juga kedua perjanjian tersebut pada hakikatnya berkesinambungan dalam sejarah dan bersatu dalam teologinya. Akan tetapi, ternyata keduanya pun memiliki perbedaan, antara lain ialah banyaknya pemahaman dan praktek dalam Perjanjian Lama yang tergantikan oleh Perjanjian Baru, bahwa ciri khas Perjanjian Lama bersifat persiapan, sedangkan dalam Perjanjian Baru bersifat penggenapan, serta kehidupan masyarakat dalam Perjanjian Baru memiliki hubungan yang lebih pribadi dengan Allah, jauh melebihi masyarakat dalam Perjanjian Lama.
Menurut H. H. Rowley, kesatuan dan kesinambungan yang hakiki antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditemukan dalam asalnya yang sama dari Allah, pengajaran yang sama mengenai Allah dan manusia, pola-pola yang sama dan prinsip-prinsip etika serta liturgy yang sama (Baker. 1996: 265). Pandangan lain yang menjelaskan mengenai hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru datang dari Th. C. Vriezen, yang berpendapat bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki beberapa perspektif yang sama, di antaranya adalah konsep persekutuan, nubuat, dan kerajaan. Menurut Vriezen kepastian persekutuan yang langsung antara Allah dan manusia merupakan ide dasar dari seluruh kesaksian Alkitab, sehingga antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Secara historis-teologis, menurut Hasel (Baker, 1996: 289-295) terdapat hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yaitu sebagai berikut: 
1. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam sejarah umat Allah dan cara Allah berurusan dengan manusia.
2. Terdapat kutipan dalam Perjanjian Baru yang diambil dari Perjanjian Lama
3. Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama menggunakan tema-tema teologis yang penting seperti pemerintahan Allah, umat Allah, pengalaman keluar dari perbudakan, perjanjian, Kerajaan Allah, ciptaan dan ciptaan baru serta masih banyak lagi.
4. Secara terbatas tipologi menguatkan bahwa terdapatnya hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
5. Adanya kategori janji dan penggenapan yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, hal ini memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tak terpisahkan.
Selanjutnya hubungan antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian baru, menurut Bright (1967: 136-138), Alkitab merupakan buku teologi, sehingga kesatuan Alkitab tergantung pada adanya kesatuan dalam teologi Alkitab. Perjanjian Lama, menurut Bright merupakan kitab yang mencatatkan sejarah nyata, dalam hubungan dengan suatu penafsiran teologis mengenai sejarah itu. Sejarah tersebut dimengerti sebagai suatu sejarah yang menuju suatu tujuan namun tidak sampai kepada tujuan tersebut. Jadi secara teologis Perjanjian Lama tidak lengkap, karena melukiskan suatu sejarah keselamatan yang di dalamnya keselamatan tersebut belum tercapai. Penggenapan dan penyempurnaan akan keselamatan tersebut hanya terdapat di luar batas-batas Perjanjian Lama, yakni pada Perjanjian Baru. Pada Perjanjian Baru tersebut, yang menjadi berita utamanya adalah Yesus Kristus telah datang, Allah telah bertindak secara nyata dalam menentukan sejarah manusia pada penggenapan janji-janjinya dan mencapai keselamatan. Melihat penjelasan di atas, dengan model struktur teologi yang melengkung, mempengaruhi masing-masing teks dengan menggunakan cara-cara tertentu, itu merupakan unsur yang hakiki dan normativ dalam Perjanjian Lama. Struktur tersebut merupakan suatu unsur yang mengikatnya tanpa terbukakan dengan Perjanjian Baru dalam Kanon Kitab Suci.  Oleh karena itu, jelaslah bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak hanya terdapat suatu kesinambungan atau hubungan secara historis saja melainkan juga memiliki suatu hubungan kesatuan historis.
Lalu bagaimana dengan praktek keagamaan dan tradisi Yahudi yang di dalam PL di sedang viral lakukan di masa gereja saat ini, masih relevan atau tidak? Kita akan bahas pembahasan ini pada pembahasan edisi berikutnya.












Sumber:
Berkhof, Louis, Teologi Sistematika 2: Doktrin Manusia, Surabaya: Momentum, 2011.
McComiskey, Thomas Edward, The Covenants of Promise, Grand Rapids: Baker Book House, 1985.
Bright 1967: 136-138
Baker, 1996: 289-295
Dumbrell, W. J. Covenant and Creation: A Theology of Old Testament Covenant, New York:
         Thomas Nelson Publishers, 1984.
Szikszai, Stephen, The Covenant in Faith and History, Philadelphia: The Geneva Press, 1952.
Barth, Christoph dan Barth-Frommel, Marie-Claire, Teologi Perjanjian Lama 1, Jakarta:
         Gunung Mulia, 2010
Dryrness, William, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1990.
Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology,Malang: Literatur, 2012.
Robertson, O. Palmer, Covenants: God’s Way with his People, Philadelphia: Great
        Commission Publications, 1978.






Sabtu, 15 Juli 2017

Etika Nikomachea dan Tujuan hidup untuk kemuliaan Tuhan



Aristoteles dalam Karyanya yaitu Etika Nikomakhea diwarnai  dengan gagasan –gagasan mengenai  arah,tujuan antara dan tujuan akhir setiap tindakan dan hidup manusia. Ada 4 unsur pertanyaan  untuk memahaminya yaitu sebab material (apa bahannya), sebab formal (untuk apa?), sebab efesien (siapa yang menyebabkan itu terjadi?), sebab Final (untuk apa sesuatu itu ada?). Pemikiran kita boleh hanya berhenti sebatas objek yang sudah ada, tidak bermaksud untuk memvonis namun jika boleh jujur terkadang manusia cepat mengambil keputusan atas  realitas yang ada. Kita harus memahami realitas yang ada dari berbagai sudut pandang yang ada, untuk apa realitas tersebut? Kemana arah realitas tersebut?, ada maksud apa dari realitas tersebut? Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki tujuan oleh karena itu pentingnya pemahaman yang tidak hanya sekedar berhenti di ranah realita dan fisik saja maksud dan tujuan dari realita itu layak diselidiki sebagaimana pentingnya menyelidiki realita fisik.
Sebagai manusia sudah seharusnya dalam dirinya memiliki kesadaran akan maksud dan tujuan, karena manusia berbeda dengan mahkluk hidup lainnya, dalam diri mahkluk hidup lain (selain manusia) tidak memiliki sadar sadar tujuan sekalipun dalam mahkluk hidup tersebut memiliki tujuan namun mereka tidak sadar.  
Dalam baris pertama dari Etika Nikomakhea Aristoteles menegaskan bahwa di dalam setiap seni, penelitian, tindakan, kita mengarah kepada sesuatu yang baik. Aristoteles mengatakan “jika saya melakukan sesuatu demi mencapai tujuan tertentu dan kemudian mengarah ke tujuan lainnya dan setelah tercapai berusaha mencapai tujuan lalin lagi tanpa ada tujuan tertinggi yang ada di dalam pikiran saya, saya hanya akan terus berputar-putar pada satu lingkaran. Semua tujuan kecil yang saya perjuangkan harus mengarah kepada tujuan tertinggi yang disebut dengan kebaikan”. Saat tujuan yang dilakukan hanya berhenti untuk pemuasan diri sendiri maka yang diperoleh hanya kekosongan tanpa arti.
Tujuan akhir yang dimaksud oleh Aristoteles adalah kebaikan manusia sendiri, kebaikan tertinggi manusia itu adalah kebahagiaan yang didefinisikan sebagai tindakan jiwa yang selaras dengan keutamaan sempurna. Bagi Aristoteles kebahagiaan sebuah tindakan yang terkait dengan apa yang terbaik dalam diri kita yaitu keutamaan tertinggi yang  mengarah kepada kebahagiaan dan terlebih kebahagiaan yang sempurna. 
                        Penjelasan singkat diatas memberikan kontribusi suatu pemahaman mengenai segala sesuatu memiliki tujuan yang paling tinggi. Hasil pemikiran dari Aristoteles dalam menjadi refrensi tambahan untuk memahami tujuan hidup. Sebagai seorang Kristen yang memiliki  keyakinan pemikiran dari aristoteles tidaklah mengecilkan otoritas Firman Tuhan yang ada dalam alkitab. Namun dengan secara rendah hati kita tidak juga menyalahkan atau menyudutkan  pandangan dari Aristoteles, kita bisa menggunakan jalan tenangah untuk memperoleh tujuan yang tertinggi dari masing-masing pandangan terlebih lagi dari sudut pandang kekristenan.       
            Dalam keyakinan KeKristenan segala sesuatu semuanya diawali dengan Allah. Jika Aristoteles memiliki pandangan bahwa memulai tujuan itu dari diri sendiri, keKristenan memulai segala sesuatunya dengan Allah. Tujuan hidup manusia jauh lebih besar dari tujuan tertinggi manusia yaitu kebaikan manusia (kebahagiaan), manusia dilahirkan oleh tujuan-Nya dan untuk tujuan-Nya. Alkitab sangat jelas menuliskannya dalam Kolose 1:16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. (Col 1:16 ITB).
Sangat penting menempatkan Allah di awal pemikiran kita berkaitan tentang segala sesuatu, seorang atheis bernama Bertrand Russel mengungkapkan “sebelum anda memikiran Allah, pertanyaan tentang tujuan hidup tidaklah berarti. Oleh karena itu sangat penting memusatkan pemikiran kita kepada Allah. Jika melirik dari 4 unsur pertanyaan  dari Aristoteles yaitu sebab material (apa bahannya), sebab formal (untuk apa?), sebab efesien (siapa yang menyebabkan itu terjadi?), sebab Final (untuk apa sesuatu itu ada?) maka jawaban dari itu semua tertuju kepada Tuhan. Manusia tidak akan bisa mencapain tujuan tertinggi jika memulai dari diri sendiri, kita harus memulainya dari Allah, pencipta manusia, karena Allah menghendaki manusia ada maka manusia ada. Manusia dijadikan Allah untuk Allah bukan sebaliknya Allah untuk manusia, dengan demikian sudah pasti hidup manusia digunakan Allah untuk tujuan-Nya, bukan menggunakan Allah untuk tujuan sendiri. Jika manusia tidak memahami bahwa manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah maka manusia tidak akan memahami kehidupan. Sebuah barang diciptakan tentu memiliki tujuan mengapa barang tersebut diciptakan, untuk mengetahui apa tujuan barang tersebut diciptakan maka kita bisa bertanya kepada sang penciptanya untuk apa barang tersebut diciptkan. pertanyaan apa tujuan manusia diciptkan jawabannya ada pada Allah sang pencipta manusia. Allah memiliki jawabannya karena Allah tidak akan meninggalkan manusia di dalam kegelapan untuk bertanya-tanya. Allah bukan sekedar titik awal dalam kehidupan manusia, tapi Dia sumber kehidupan. Jika menurt Aristoteles manusia harus memiliki tujuan akhir tertinggi dalam kehidupan, maka keKristenan memiliki tujuan tertingginya yaitu Allah, di dalam Allah ada segalanya kebahagiaan, damai sejahterah, dan hal baik lainnya. Saat Allah menjadi tujuan tertinggi kehidupan manusia maka yang diperoleh manusia tidak hanya bersifat sementara dibumi ini saja namun sifatnya kekal. Apa yang di bumi ini hanya sebuah gladi bersih, bumi adalah daerah persiapan, pra sekolah, uji coba bagi kehidupan manusia di kekalan. Sir Thomas Browne mengatakan, bumi hanya tanda kurung kecil di dalam kekekalan. Tujuan Allah menciptakan manusia serupa dan segambar dengan Allah memiliki tujuan kekelan (Pkh. 3:11). Jika pemahaman tujuan kita salah di bumi maka hanya ada dua pilihan di kekekalan yaitu surga atau neraka. Hubungan manusia dengan Allah di bumi akan menentukan hubungan manusia Allah di kekekalan.
Hidup dengan tujuan adalah satu-satunya cara untuk sungguh-sungguh hidup, namun tujuan yang bagaimana? Tujuan untuk siapa? Apakah tujuan itu hanya berpusat kepada diri sendiri (egosentris) atau kepada Allah (theosentris). Dasar yang tepat menjadikan tujuan yang tepat, saat dasar dari tujuan hidup kita adalah Tuhan maka tujuan hidup kita adalah Tuhan. Tujuan yang harus kita capai dalah tujuan-tujuan yang Allah tentukan bagi kita, sebuah ungkapan yang sangat indah dari William Carey yaitu “masa depan adalah secerah janji-janji Allah, bila memenuhi tujuan-tujuan anda terasa berat, jangan menyerah pada perasaan putus asa. Ingatlah ada upah anda yang berlangsung kekal”. Pusatkan kepada tujuan-tujuan Allah dalam kehidupan kita, bukan rencana-rencana kita karena tujuan kita adalah menyenangkan Allah bukan manusia (diri sendiri). Menempatakan Yesus sebagai pusat hidup kita sebagai pusat dari segala tujuan hidup kita, rencana kita menjadi sarana pendukung untuk kita mencapai tujuan kepada tujuan tertinggi yaitu kepada Tuhan.
Sumber :
Warren Rick, 2012, the purpose driven life,Malang:Gandum Mas
Garvey james, 2010, 20 Karya filsafat terbesar,Yogyakarta: Kanisius
Berbagai sumber

                                                                                    

Kamis, 29 Juni 2017

BAGAIMANA BISA ALLAH YANG BAIK DAPAT MENGIZINKAN PENDERITAAN? (Melihat Allah yang baik yang mengizinkan penderitaan dari sudut pandang Filsafat)



            Ketidak percayaan akan keberadaan Allah biasanya dilatar belakangi dengan pemahaman berdasarkan apa yang dialami. Pengalaman pahit yang membuat keyakinan yang kuat bahwa Allah itu tidak ada. Pengalaman yang menyakitkan dan mengecewakan. Terlebih lagi Keyakinan akan ketidak adaan Tuhan tersebut dibangun atas dasar argumen klasik yang dinyatakan oleh seorang Filsuf yang bernama David Hume dalam bukunya yang berjudul Dialouge concering Natural Religion yang diedit oleh Richard Popkin[1] , kalimat yang dicetuskan oleh Epicurus sangat memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran-pemikiran akan ketidak adaan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami penderitaan. Dengan demikian kejahatan dan penderitaan menjadi persoaal yang terbesar di dunia, persoalan ini menjadi persolaan yang bersifat filosif ataupun pribadi.
Jika dengan jujur untuk mengumpulkan pandangan bahwa Allah tidak ada yang dilatar belakangi karena penderitaan dan kejahatan maka tidak akan ada hentinya, namun dalam tulisan ini akan dimunculkan beberapa orang yang memiliki pandangan menganai Allah itu tidak ada yang didasari dari argumen dari Davi Hume. Seorang wartawan bernama Ron Rosenbaum[2] mengungkapkan “jika Allah adalah Allah, dia tidak baik, jika Allah baik, dia bukan Allah. Anda tidak dapat memilih keduanya, khususnya setelah bencana di Samudera Hidia”. Filsuf yang bernama J.L mackie berusaha melawan Allah dalam bukunya yang berjudul The Miracle Of Theisme dengan memberikan pernyataan “jika ada Allah yang baik dan berkuasa, dia tidak akan mengizinkan kejahatan yang tidak bermakna ini, tetapi karena ada banyak kejahatan yang tidak bermakna dan tidak dapat dibenarkan, maka          Allah tradisional yang baik dan berkyasa tidak mungkin ada.[3]
            Pandangan-pandangan tersebut dianggap salah karena memiliki kelemahan yang besar. Bukan hanya karena seseorang tidak dapat melihat atau memikirkan sebuah alasan mengapa Allah dapat mengizinkan seseuatu terjadi tidak berarti tidak ada Allah. Jika pikiran kita tidak dapat memahami kedalaman alam semesta untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang baik bagi penderitaan, maka jawabanannya tidak ada!

 Jika penderitaan dan kejahatan merupakan alasan bahwa  Tuhan tidak ada, mengapa kita tidak melihat dari sisi sebaliknya, bahwa penderitaan itu adalah bukti bagi keberadaannya Allah. Ungkapan yang begitu luar biasa diungkapkan oleh C.S Lewis yang dapat menunjukan bahwa pandangan orang-orang atheis bahwa Tuhan tidak ada dengan dasar penderitaan dan kejahatan menjadi sangat sederhana, “argumen saya melawan Allah adalah alam semesta terlihat kejam dan tidak adil. Tetapi bagaimana saya dapat mendapatkan konsep adil dan tidak adil? Dengan apa saya membandingkan alam semesta ini ketika saya menyebutnya tidak adil? Tentu saja saya meninggalkan konsep keadilan saya dengan mengatakan bahwa itu hanya konsep buatan saya sendiri. Tetapi jika saya melakukannya, maka argumen saya melawan Allah akan runtuh jug-karena argumen tersebut bergantung kepada kenyataan bahwa dunia sungguh tidak adil. Bukan hanya ia tidak memenuhi keinginan saya.. akibatnya atheisme berubah menjadi terlalu sederhana.[4] Dengan ungkapan dari Lewis menjadikan pandangan dari orang-orang atheis menjadi semakin lemah, saat mereka menuntut keadilan mereka tidak memiliki tempat untuk menjadi patokan atau standar dari keadilan tersebut, bahkan jika mereka marah akan penderitaan dan kejahatan mereka tidak memiliki hak untuk komplain terhadap penderitaan dan kejahatan karena itu semua adalah alasan bagi mereka untuk meyakini bahwa Tuhan tidak ada. Seseorang tidak akan pernah bisa menuntut sesuatu kepada pribadi yang dianggapnya tidak ada. Jika orang-orang atheis tetap bersikeras meminta keadilan terhadap penderitaan dan kejahatan maka atheisme secara tidak langsung diruntuhkan oleh diri mereka sendiri. Mengapa dikatakan atheisme runtuh karena mereka sadar atau tidak sadar mereka mengakui bahwa Tuhan itu ada, status mahkluk yang paling munafik dapat dimateraikan kepada orang-orang atheis.  
            Persoalan mengenai penderitaan, kejahatan dan ketidak adilan adalah persoalan yang bersifat universal yang dapat terjadi kepada oarang yang percaya kepada Tuhan ataupun orang atheis. Maka dapat di simpulkan bahwa tidak menjadi jaminan seseorang tidak akan mengalami penderitaan, kejahatan dan ketidak adilan. Bahkan menurut saya secara pribadi orang atheis adalah orang yang paling malang dalam dunia ini, alasannya adalah jika dua orang yang memiliki keyakinan berbeda yang satu adalah orang atheis dan yang satu adalah orang yang percaya kepada Tuhan, pada saat mengalami permasalahan yang sama-sama besar maka akan ada perbedaan yang sangat besar terlihat dari keduanya. Saat permasalahan tersebut sudah menemui jalan buntu maka orang atheis tersebut kepada siapa lagi dia berharap saat tidak ada lagi yang dapat menolongnya, meminta tolong kepada Tuhan dia tidak percaya Tuhan itu ada. Namun berbeda dengan orang yang percaya kepada Tuhan, saat jalan buntu orang yang percaya kepada Tuhan, masih memiliki harapan karena masih ada pribadi yang dipercaya yang diyakini dapat menolongnya (bukan menyatakan Tuhan adalah solusii yang terakhir, namun Tuhan menjadi prioritas dalam berbagai aspek). Perbedaan yang begitu mencolok tersebut menjadi perbandingan antara orang yang percaya kepada Tuhan dengan atheis. Harapan yang begitu jelas sangat terlihat karena Allah tidak melepaskan tanggung jawab atas penderitaan, kejahatan dan ketidak adilan di dunia ini. Filsuf bernama Peter Kreeft menyatakan bahwa Allah orang Kristen secara sengaja datang ke dunia untuk mengalami penderitaan manusia. Di kayu salib Yesus menderita kematian dengan luka yangmengerikan darah yang terus mengalir dari setiap luka yang dideritanya, bahkan penderitaan itu sudah dialaminya sebelum penganiayaan itu terjadi. Terlihat bagaimana ketakutan Yesus dan permohonan Yesus supaya cawan itu berlalun dari-Nya (Mrk. 14:33-34; Luk. 22:42-44). Penderitaan yang Yesus alami bukan hanya penderitaan secara Fisik, namun juga secara psikilogis karena harus mengalami keterpisahan dengan Allah Bapa, teriakan Yesus diatas kayu salib dengan lantang mengatakan Allah ku, Allah ku untuk apa Engkau meninggalkan Aku? Bill Lane mengatakan bahwa itu adalah sebuah hubungan yang sangat dalam.dalam ungkapannya Bill Lane mengatakan bahwa teriakan tersebut memiliki autentisitas yang kejam karena Yesus mati bukan karena menolak Allah. Keterpisahan dengan Allah adalah penderitaan yang paling mengerikan yang Yesus rasakan dibandingkan dengan penderitaan fisik yang dialami. Dapat disimpulkan bahwa penderitaan yang sejati itu bukan berbicara secara lahiriah namun penderitaan yang sejati adalah keterppisahan dengan Allah/ ketidak hadirah Allah dalam hidup kita. Penderitaan yang Yesus alami adalah bentuk dari tanggung jawab Allah atas penderitaan dan kejahatan, Yesus harus menebus dosa-dosa manusia sehingga manusia dapat mengakhiri kejahatan dan penderitaan tanpa mengakhiri manusia. Allah memperhatikan setiap penderitaan dan kejahatan yang manusia alami dengan sangat serius sehingga Dia rela menanggungnya sendiri.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Albert Camus, “Allah manusia juga menderita dengan sabar, kejahatan dan kematian tidak dapat dituduhkan kepada-Nya karena Dia menderita dan mati. Malam di Golgota adalah malam yang penting dalam sejarah manusia hanya karena yang Ilahi meninggalkan haknya dan menghidupi keputusasaan dan derita kematian hingga akhir. Itulah yang jelaskan “Lama Sabakhtani” dan keraguan Kristus yang menakutkan dalam penderitaan.”[5] Ini menjadi suatu penguatan bagi setiap manusia yang mengalami penderitaan.
           
Jika kita memiliki Allah yang cukup agung dan transenden sehingga kita bisa marah ketika Dia tidak mengentikan kejahatan dan penderitaan di dunia, maka kita pada saat yang sama mrmiliki Allah yang sama memiliki Allah yang cukup Agung dan transenden untuk memiliki alasan-alasan yang baik dalam mengizinkan penderitaan dan kejahatan berlanjut yang tidak dapat kita pahami. Yesuus mati di atas kayu salib, maka kita memiliki penghiburan dan kekuatan untuk menghadapi realitas-realitas kehidupan  yang kejam di dunia. Kita dapat mengetahui bahwa Allah adalah Immanuel dalam  penderitaan yang paling buruk sekalipun.
            Dostovesky menjelaskan, saya percaya seperti seorang anak kecil bahwa penderitaan akan disembuhkan sehingga semua kontradiksi manusiawi dan penghinaan akan hilang seperti sebuah ilusi, seerti kebohongan pikiran euclidean,  bahwa  pada dunia pada saat tibanya harmoni kekal, sesuatu yang begitu berharga akan datang memusnahkan hari kita, meredakan semua kemarahan, menebus semua kejahatan manusia,  semua darah yang telah mereka tumpahkan, itu akan memberikan pengampunan dan membenarkan semua yang telah terjadi. Sebagai penutup sebaris kalimat indah dari C.S Lewis yang menjelaskan kekalahan kejahatan dan penderitaan yang ultimat. Kejahatan bukan hanya diakhiri tetapi juga dikalahkan sehingga menjadikan kehidupan penuh dengan sukacita. C.S Lewis mengatakan “mereka berkata tentanng penderitaan sementara. Tidak ada kesenangan pada masa depan yang dapat menebusnya. Mereka tidak tahu bahwa sorga, ketika mendapatkan, akan menjangkau ke belakang dan mengubah semuanya bahkan penderitaan tersebut jadi kemuliaan.[6]




[1] Timothy Keller, Rasio Bagi Allah (Surabaya:Momentum,2013),271.
[2] Ron Ronbaum, “Disater Ignites Debate: was God in the Tsunami? (New York Observer, 10 Januari 2005)
[3] Daniel Howard-Snyder, God, Evil,Suffering
[4] C.S. Lewis, Mere Christianity (Macmillan, 19600),31.

[6] Timothy Keller, Rasio Bagi Allah (Surabaya:Momentum,2013),40-50.

Sabtu, 24 Juni 2017

PENDERITAAN: MEMBANGUN ATAU MENJATUHKAN



            Saat ada seseorang mengalami suatu penderitaan akan ada beberapa orang yang beranggapan bahwa orang yang mengalami penderitaan tersebut sudah melakukan suatu dosa besar ataupun kecil. Sehingga orang tersebut mendapat hukuman yang setimpal dengan dosa mereka. Pertanyaan yang akan muncul adalah dosa apa yang telah dia perbuat sehingga Ia mengalami hal tersebut? Terlebih lagi dengan orang-orang yang memegang teguh prinsip pembalasan/ konsep retribusi yang memiliki pandangan taat kepada Tuhan mendapat berkat tidak taat mendapat kutuk (namun dalam tulisan ini kita tidak membahas prinsip pembalasan). Penderitaan akan dikaitan dengan dosa yang dilakukan, pertanyaannya adalah apakah semua penderitaan diakibatkan karena dosa yang sudah dilakukan?
           
 Dalam tulisan ini kita akan melihat penderitaan dari dua sudut pandang yaitu penderitaan: akibat dosa & penderitaan: bukan akibat dosa. Kita harus adil sebagai manusia untuk memandang suatu peristiwa, melihat dengan jujur dari berbagai sudut pandang dengan jujur, tanpa meminorkan yang mayor dan memayorkan yang minor, atau hanya menekankan salah satunya saja. Pertama-tama kita akan melihat penderitaan akibat dosa.

Penderitaan menimbulkan berbagai pertanyaan dalam kehidupan manusia, terutama kepada orang yang mengalami penderitaan itu. Pertanyaan klasik yang muncul adalah: mengapa aku? Lalu mempertanyakan keberadaan Tuhan, mempertanyakan kekuasaan Allah, bahkan dalam kondisi yangb paling akut yaitu tidak mempercayai keberadaan Allah lagi.  Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akan menjadikan diri  sang penderitaan menempati posisi di mana dia akan berfokus kepada diri sediri, mengasihani diri sendiri dan memandang paling benar diri sendiri dengan beranggapan bahwa dia tidak layak menerima penderitaan tersebut. Kondisi seperti ini akan menyebabkan manusia jauh dari Tuhan dan tahapan selanjutnya adalah akan menganggap Tuhan tidak ada. Ini merupakan cara Iblis mencuri kesempatan untuk emakin melemahkan manusia dan membawa manusia kedalam lubang penderitaan yang semakin dalam.
Lalu bagaimana kaitanya antra dosa dengan penderitaan? Saat manusia melakukan dosa terkadang manusia tidak terpikirkan akibat dari dosa yang manusia lakukan itu bertalian dengan penderitaan, manusia dibutakan sehingga kehilangan “kesadaran” akan hukuman yang harus diterima. Saat berbuat dosa manusia akan mencari standar untuk pembenaran diri supaya manusia itu layak melakukan dosa itu adalah dengan melihat orang lain/ orang banyak yang melakukan dosa. Perbuatan orang lain menjadi acuan untuk memantaskan diri supaya dapat melakukan dosa itu, dengan melihat banyak temannya maka individu memiliki dorongan keberanian untuk melakukan dosa karena memiliki asumsi dasar bukan hanya saya yang melakukannya.
            Saat seseorang berbuat dosa maka konsekuensi dari dosa tersebut sudah berlaku. Manusia berbuat dosa itu adalah posisi dimana manusia menggunakan hak atau kebebasannya untuk berbuat dosa, namun yang harus disadari juga adalah pada saat yang sama manusia telah membuang haknya untuk melakukan kebenaran. Manusia harus mempertanggung jawabkan setiap apa yang telah dilakukan.
Bertentangan penderitaan akibat dosa, kita melihat dari sudut pandang yang berbeda mengenai penderitaan bukan akibat dosa. Kita tidak dapat memvonis orang yanng mengalami penderitaan itu adalah akibat dari hukuman yang setimpal dengan perbuatan dosa. Jika pandangan orang yang berdosa harus menerima hukuman dalam bentuk penderitaannya karena perbuatan dosanya itu merupakan teori atau pandangan  yang sudah biasa, namun jika sebaliknya penderitaan itu tidak disebabkan karena dosa namun orang itu mengalami penderitaan juga. Ini merupakan suatu paradoks yang dapat membingungkan, jika kita dapat rumuskan, orang berdosa = menderita dan orang tidak berdosa=  menderita, kesimpulannya adalah orang berdosa dan tidak berdosa sama-sama menderita. Jika seperti ini maka dapat dikatakan Allah tidak adil. Karena orang berdosa dan tidak berdosa memiliki tindakan yang tidak sama namun kesimpulannya tetap sama yaitu sama-sama mengalami penderitaan. Dalam rumusan tersebut ada hal yang sangat mencolok yaitu penderitaan orang berdosa itu adalah sebagai hukuman, sementara penderitaan norang tidak berdosa itu bukanlah sebuah hukuman, sekalipun mereka sama-sama menderita namun esensi dari menderita itu sangat jauh berbeda.
Penjelasan mengenai orang tidak berdosa namun mengalami penderitaan dapat terlihat jelas dari kisah Ayub yang menjadi acuan bahwa tidak semua penderitaan itu akibat dosa. Pembelaan Ayub terhadap tuduhan-tuduhan dari teman-temannya berusaha mematahkan teori-teori yang sudah lama terbangun di pikiran teman-teman Ayub dan juga pikiran “manusia” dari masa ke masa dan membuktikan bahwa tidak semua orang yangb menderita itu karena dosa.
Dari penderitaan yang tidak pada tempatnya yang Ayub alami memberikan penguatan bagi orang-orang yang saat ini menderita. Dalam penderitaannya Ayub tetap dappat memuji Tuhan dengan mulutnya menggunakan lututnya untuk menyembah. Penderitaan yang tidak dia mengerti karena penderitaan itu sangat bertentangan dengan konsep yanng sudah dipahami dari turun temurun, namun konsep itu berbalik derastis saat kondisi itu dialami oleh orang yang tidak berdosa seperti Ayub. Namun di dalam ketidak mengertian Ayub mengapa hal itu terjadi ada satu hal yang Ayub pahami yaitu bahwa Tuhan adalah Tuhan yang tidak mungkin tidak baik kepada dirinya. Dari ketidak tahuannya, ayub memahami bahwa Tuhan mempunyai suatu pengertian yang benar yang tidak ia ketahui.                  
Penderitaan yang Ayub alami tidak mengganggu keimanan Ayub. Ayub menjadi perwakilan bagi orang-orang yang baik yang menderita, dan merupakan pembalikan teori usang yang telah lama diyakini banyak orang. Pertanyaan- pertanyaan seputar penderitaan sangat panjang jika dibahas dan didebatkan,di manakah Allah saat kita sedang mempertanyakan dan mendebatnya? Allah diam terhadap semua perdebatan itu, namun saat Allah berdiam bukan berarti Allah tidak ada. Saat manusia mengoceh, mempertanyakan tentang keadaanya dan Allah diam, sesungguhnya itu Allah sedang memperhatikan ocehan manusia, dalam diamnya Allah adalah diam yang aktif bukan diam yang pasif diamnya Allah terus memperhatikan manusia yang mengalami penderitaan.
Hal yang penting yang harus kita pahami mengenai penderitaan adalah apakah penderitaan itu membangun atau menjatuhkan? Jawaban dari pertanyaan tersebut terletak pada respon dari masing-masing manusia. Respon yang manusia berikan terhadap penderitaan itu yang menunjukan nilai dari menusia dihadapan Tuhan. Jika melihat pribadi Ayub yang mengalami penderitaan respon Ayub begitu luar biasa, Ayub 2:10 menunjukan kualitas kehidupan Ayub yang sangat tinggi, dia tidak hanya ingin menerima yang baik saja dari Tuhan namun juga dia mau menerima  yang tidak baik, Ayub menjunjung tinggi kedaulatan Allah atas hidupnya. Respon yang Ayub berikan atas penderitaan itu bukan tanpa dasar, Ayub mengerti bahwa penderitaan itu merupakan pencobaan[1]   yang menguji dia setelah dia melewati itu semua ia akan seperti emas murni seperti emas (Ayb. 23:10).    Respon manusia terhadap Allah yang mengizinkan penderitaan dialami oleh manusia sangat jelas mengikis keakuan/keegoisan dalam diri  manusia itu sendiri dan membawa manusia menuju kepada kesempurnaan yang luar biasa. Melalui penderitaan yang diresponi dengan dengan benar akan mendatangkan suatu penghiburan, karena orang yang tidak melalui penderitaan tidak mempunyai pengertian tentang apakah maksud Tuhan melalui penderitaan itu. Penderitaan itu memberikan pengertian tentang penghiburan, seseorang tidak akan mengerti betapa perlunya terang jika seseorang tersebut tidak pernah berada di tempat yang sangat gelap tanpa secerca cahaya sedikitpun.
Semakin seseorang banyak mengalami penderitaan semakin banyak ia mempelajari hal baik melalui penderitaan itu, dari pelajaran yang diperolehnya semakin banyak kekuatan yang ia peroleh, dari apa yang dia peroleh orang tersebut akan mentranferkan kekuatan kepada orang lain yang juga mengalami penderitaan, dan orang tersebut menjadi alat Tuhan untuk kemuliaan nama-Nya. Penderitaan dan penghiburan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana dua sisi mata uang koin. Penderitaan bukan bertujuan untuk menjatuhkan atau menghancurkan kita, Iblislah yang mengambil kesempatan untuk menjatuhkan dan menghancurkan manusia supaya manusia salah dalam meresponi pernderitaan. Respon yang benar terhadap penderitaan harus kita dasari bahwa segala sesuatunya mendatangkan kebaikan. Penderitaam tidak akan menghancurkan hubungan dengan Tuhan jika kita memiliki cinta kepada Tuhan, maka kita akan melewati penderitaan itu dengan pandangan tertuju kepada Tuhan dan mengetahui apa yang Tuhan sediakan itu lebih indah dari berbagai hal yang kita miliki selama di bumi ini. Oleh karena itu banyaknya penderitaan yang kita alami tidak membuat kita putus asa, lemah dan tidak berpengharapan, namun sebaliknya banyaknya penderitaan itu menjadikan kita semakin kuat dan menjadi saluran pengutan untuk orang lain. Saat seseorang mengalami penderitaan yang begitu luar biasa pada saat itulah Tuhan sedang memakai orang tersebut untuk menjadi alat di tangan Tuhan untuk menyalurkan berkat kepada orang lain. Dalam kondisi seperti inilah penderitaan menjadi suatu alat yang membangun bukan yang menjatuhkan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         



[1] Dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani, kata ‘percobaan’ dijelaskan berasal dari kata benda ‘massa’ atau kata kerja ‘masa’ atau ‘pakan’.  Kata ‘massa’ berarti cobaan atau ujian. Sedangkan kata kerja ‘masa’ berarti mencoba atau menguji. Kata ‘pakan’ sendiri berarti menguji, melebur atau membersihkan logam. Dengan melihat penjelasan dari bahasa aslinya kita dapat melihat maksud dari pencobaan ini adalah memiliki tujuan yaitu  Mencapai  nilai tertinggi, seperti pencapaian nilai tertinggi  dari logam yakni emas. Bila logam itu ternyata bukan emas, ia akan lebur dan habis. Hanya emas sebagai logam mulia yang tahan bakar, yang tahan uji. Dalam bahasa Yunani pencobaan berasal dari kata benda ‘persmon’ dan kata kerja ‘perason’. ‘Perason’ sama dengan kata pakan dalam bahasa Ibrani yaitu melebur, membersihkan atau menguji logam.

Kamis, 22 Juni 2017

Theodise dan Kedaulatan ALLAH




Saya sadari sebagai penulis untuk menulis tulisan ini bukanlah hal yang mudah, di mana pertanyaan mengenai penderitaan dan kejahatan, mempertanyakan keberadaan Allah di saat masa-masa sulit yang begitu menyakitkan terjadi. Namun jika penulis tidak mengalami suatu penderitaan dalam kehidupan nyata, maka tulisan ini hanya sebuah cerita penderitaan teoritis saja. Dengan sudah menempati posisi penderitaan tersebut maka tulisan ini akan menjadi tulisan yang hidup, di mana penulis juga pernah merasakan apa yang pembaca rasakan. Kehilangan, kesakitan, jeritan dan tangis menjadi kekuatan dasar dari penulis untuk mengajak pembaca semakin mencintai Tuhan melalui penderitaan yang sedang di alami. Pertanyaan yang begitu menonjol saat seseorang mengalami penderitaan adalah mengenai keadilan Allah dan eksistensi Allah dalam kehidupan ini. Doa dan harapan penulis melalui Tulisan sederhana ini akan memberikan pengertian yang benar dan kekuatan yang baru bagi pembaca semuanya. Kita mulai dari keadilan Allah (teodise).
Teodise merupakan salah satu kandungan yang ada dalam sastra hikmat dalam perjanjian Lama. Teodise dalam PL berkaitan dengan kenyataan sakit penyakit, penderitaan, dan kematian di dalam dunia dalam hubungannya dengan kekudusan dan Keadilan Allah. Pokok pembahasannya yaitu meliputi penderitaan manusia, kemiskinan dan ketidak-adilan sosial, kecurangan hidup, kehidupan setelah kematian (Pkh. 3:16-22) dan tujuan serta makna hidup (Pkh. 4:1-3).[1] Pengertian dari teodise sendiri adalah pembelaan akan adanya Tuhan. Teodise berasal dari bahasa Yunani dari kata theos (Tuhan) dan dike (Keadilan), dicetuskan pertama kali oleh seorang filsuf Jerman, Gottfried Wilhem Leibniz lewat penerbitan bukunya essais de Théodicée pada 1710 yang berisikan analisis-analisis filosofis.[2] Jika digabungkan menjadi mengadili adanya Tuhan, atau pengadilan akan adanya Tuhan, dengan perkataan lain teodise berarti Keadilan, kebenaran atau pembenaran Allah (oleh manusia) atau usaha yang membenarkan tindakan-tindakan Allah.
Sebelum membahas teodise menurut sudut pandang dari alkitab, penulis menjelaskan teodise secara umum. Teodise ada karena respon dari adanya kejahatan dan penderitaan sehingga timbul orang-orang yang mempertanyakan eksistensi Tuhan yang mahabaik, mahakuasa, mahatahu, dan maha adil. Seorang yang bernama John M. Frame dalam bukunya menuliskan mengenai “kejahatan” dan “penderitaan” merupakan suatu hal yang harus diperhatikan secara serius karena hal ini dijadikan dasar atau alasan untuk melawan keimanan kaum Theisme.[3] Kejahatan dan penderitaan itu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya dapat menimbulkan sebab dan akibat dari kedua hal tersebut. Asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki standar yang sah para Filsuf mengatakan bahwa sifat Allah yang mahatahu, mahakuasa, dan maharahim tidak cocok dengan adanya kejahatan dan penderitaan di dunia ini.[4]
Menurut John Hick sebagaimana disadur oleh Meister, penderitaan karena kejahatan moral itu berasal dari manusia itu seperti contoh pikiran kejam dan ketidakadilan yang teraplikasi di dalam perbuatan mereka. Golongan yang termasuk di dalam Kejahatan moral yaitu “tindakan” seperti berbohong, memperkosa, membunuh, dan lain sebagainya juga “karakter” seperti kedengkian, keserakahan, iri hati dan sebagainya. Berbeda dengan penderitaan yang disebabkan karena alam, itu merupakan sesuatu yang berada diluar batas kemampuan pikiran dan tindakan manusia. Yang sangat jelas terlihat seperti wabah penyakit, bencana alam, dan lain sebagainya. Kontras dengan penderitaan yang disebabkan oleh alam yaitu penderitaan yang disebabkan oleh alam namun penyebab utamanya adalah ulah manusia itu sendiri yang tidak diperhitungkannya sebelumnya dan masuk dalam kejahatan moral.[5]
Ada anggapan bahwa penderitaan itu merupakan sesuatu persoalan filosofis yang berujung kepada pertanyaan yang mempertanyakan keberadaan Allah. Sama dengan filsuf-filsuf yang lainnya yang mempertanyakan tentang keberadaan Allah seorang Filsuf bernama J.L. Mackie berargumentasi melawan Allah melalui bukunya yang berjudul The Miracle Of Theisme,” jika ada Allah yang baik dan berkuasa, Dia tidak akan mengizinkan kejahatan yang tidak bermakna ini, tetapi karena ada banyak kejahatan yang tidak bermakna dan tidak dapat dibenarkan, maka Allah tradisional yang baik dan berkuasa tidak mungkin ada. Beberapa dewa tertentu mungkin ada atau tidak ada, tetapi Allah tradisional tidak ada.[6]Adanya kejahatan dan penderitaan menyebabkan anggapan bahwa Allah yang baik tidak ingin meniadakan penderitaan dan kejahatan karena hal tersebut sangat kontras dengan status atau gelar yang dimiliki oleh Allah dan ungkapan yang lebih sinis lagi adalah bahwa Allah tidak tahu bagaimana cara membasminya[7]. Berikut ini adalah premis dasar para filsuf dalam memandang Allah dalam keterkaitan-Nya dalam penderitaan yang terjadi di dunia ini.
Premis 1: Jika Allah Mahakuasa, Ia akan dapat mencegah kejahatan dan penderitaan .
Premis 2: Jika Allah Mahabaik, Ia akan berkehendak untuk mencegah kejahatan dan penderitaan.
Kesimpulan:    Jadi, jika Allah Mahakuasa dan Mahabaik, maka tidak akan ada kejahatan dan penderitaan.
Premis 3 : Tetapi kejahatan dan penderitaan ada.
Kesimpulan:    Oleh karena itu, tidak ada Allah yang Mahakuasa, Mahabaik.[8]
Ada pendapat lain yang berasal dari Leahy yaitu fakta bahwa dalam dunia ada kejahatan dan penderitaan merupakan sebab utama orang menjadi ragu-ragu apakah memang ada Allah yang baik, yang menciptakan dan memelihara alam raya dengan manusia yang ada di dalamnya. Maka pertanyaan yang timbul adalah mengapa Allah membiarkan adanya kejahatan dan penderitaan merajalela dalam dunia? Sangat terlihat jelas sepertinya tidak ada Keadilan yang terjadi dalam hal ini karena pada faktanya kejahatan dan penderitaan dialami oleh orang yang tidak bersalah, mereka tidak mengalami hal-hal yang positif sama sekali. Dengan keadaan yang seperti demikian maka bagaimana dapat dijelaskan dan diselaraskan antara ke maha kuasaan Allah, Keadilan Allah, dan kebaikan Allah.
Dengan melihat pandangan-pandangan yang dikatakan oleh beberapa tokoh yang mempertanyakan keeksistensian Allah dan mempertanyakan tentang permasalahan kejahatan dan penderitaan sesungguhnya pandangan-pandangan mereka yang didasarkan dengan realitas yang terjadi mendukung pendapat mereka tentang ketidak-beradaan Allah. Karena hal demikian, Ronald H. Nash menyatakan bahwa orang-orang percaya harus tegas dengan keyakinan mereka bahwa dunia dan segala kejahatannya diciptakan oleh Allah.[9] Tanggapan lain yang berasal dari para teolog dan filsuf teistik yang berusaha memberikan argumentasi-argumentasi atau bukti-bukti yang meyakinkan bagi adanya eksistensi Allah yang sering disebut dengan teologi natural.[10]
Di dalam kitab Perjanjian Lama, seolah-olah Allah berdiam diri dan eksistensinya Allah tidak terlihat terhadap keluhan-keluhan dari beberapa tokoh alkitab yang menyerukan pertanyaan dan protes kepada Tuhan seakan-akan tidak ada Keadilan lagi karena kondisi yang mereka alami tidak sesuai dengan perbuatan mereka atau iman mereka. Mereka beriman bahwa Tuhan akan menolong mereka namun pada kenyataannya mereka tidak memperoleh pertolongan tersebut. Seruan pertanyaan dan protes kepada Tuhan terlihat di dalam Mazmur 10; 12; 14; 22; 13; 35; 36; 37; 43; 44; 49 dan, 73; 74; 79; 80; 83; 88; 89; 94; 115:2;140; Pkh. 9:1-6;3:16-22, Pkh. 4:1-3; Yer. 12: 1-2, (Yes. 42: 1-4; 49: 1-6; 50: 4-9; 52: 13-53: 12).[11] Sangat terlihat jelas dalam ayat-ayat tersebut bagaimana tokoh-tokoh yang ada dalam menyerukan tentang Keadilan Allah. Ketidakadilan juga muncul dari dalam keluhan seorang nabi yang bernama Habakuk karena terjadi pelanggaran dan pemutarbalikan Taurat dimana orang-orang Fasik memperlakukan orang-orang benar dengan semena-mena (Hab. 1:2-4), dengan keadaan seperti ini Habakuk mempersoalkan Keadilan TUHAN, sepertinya TUHAN berdiam dan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran yang terjadi. Dalam seruannya, Habakuk menunjukkan persoalan ketidak-adilan yang terjadi melingkupi permasalahan Keadilan dan keagamaan, di dalamnya terdapat orang-orang yang merampas milik orang lain, orang-orang yang mengambil laba yang tidak halal, orang-orang yang membangun di atas dasar kekerasan dan kekejaman dan ketidak adilan, orang-orang yang menyembah berhala.[12] Dari ayat-ayat dan tokoh yang dituliskan di atas terlihat seruan mereka mempertanyakan tentang kondisi orang fasik yang memiliki kehidupan yang makmur dan kehidupan yang nyaman, sehingga tidak sesuai dengan konsep dan tatanan yang sudah berlaku bahwa seharusnya orang fasik memiliki kehidupan yang jauh dari berkat, kemakmuran dan kenyamanan hidup. Dalam ungkapan tokoh-tokoh tersebut sepertinya mereka kehilangan harapan di dalam ketidak-adilan yang mereka alami.
Bagaimana memahami sifat Keadilan Allah berhadapan dengan fakta adanya penderitaan, jika diperhatikan pengertian dari Keadilan yang dilihat dari bahasa Ibrani nya adalah Kata משׁפט berasal dari kata dasar שׁפט (saphat), yang memiliki arti menghukum, menjadi hakim, menghakimi, mengadili, membela dan memerintah. Di dalam Perjanjian Lama, kata tersebut ada sekitar 422 kali,[13] sehingga kata Mišp̠āṭ diartikan sebagai Keadilan (justice) dan arti dasarnya adalah cara yang benar bagi seseorang untuk membawakan diri, dan cara yang benar untuk memperlakukan orang lain. Proses menyatakan hak perseorangan ialah Keadilan, dan jika seseorang melakukan kejahatan maka patut ia dihukum.[14] Mišp̠āṭ menjadi tanda dari Keadilan dalam semua pribadi (personil) administrasi sipil yang benar, yang harus diutamakan Keadilan terutama adalah satu sifat TUHAN, sebab semua Keadilan yang benar mendapatkan sumbernya hanya dari pada TUHAN semata-mata saja (Ams. 29:26),[15] ini berarti bahwa setiap orang memperoleh haknya sesuai dengan apa yang diterimanya tanpa pilih kasih atau diskriminasi karena Alkitab sangat menekankan Keadilan di dalam hubungan antar manusia. Keadilan dilihat sebagai sifat Allah yang dinyatakan dengan membela orang-orang yang tertindas dalam rangka memelihara kehidupan.[16]
Perjanjian lama tidak hanya memperkenalkan Allah sebagai sang pencipta langit dan bumi saja, namun Allah diposisikan sebagai sang pembebas bagi orang-orang yang tertindas, dalam pengalaman hidup bangsa Israel yang telah mengalami pembebasan oleh Allah dari tanah perbudakan menjadikan hal tersebut dasar bahwa Allah itu berkuasa dan adil dan hal ini juga menjadi dasar untuk konsep Retribusi (prinsip pembalasan/konsekuensi logis) yang menyatakan bahwa orang benar akan diberkati dan orang berdosa akan dihukum. Secara jelas dinyatakan bahwa kitab Ulangan (Ul. 11:13-17) dan diperluas dalam Imamat 26 dan Ulangan 28, di sini hukum diberikan kepada bangsa Israel bahwa berkat untuk kebaikan dan hukuman untuk dosa,[17] apapun yang dilakukan Allah itu merupakan perwujudan dari Keadilan Allah (Yes 5:16; Mzm. 50:6) karena Allah adil dalam segala perbuatan-Nya (Mzm. 119:137). Keadilan Allah menunjukkan perilaku yang benar atau watak yang benar, sikap lurus, selaras dengan semua norma tertentu. Seringkali disertai dengan unsur kehakiman, yakni ada hubungannya dengan pengadilan atau keputusan-keputusan berdasarkan hukum.[18]
Dengan melihat persoalan penderitaan yang terjadi di dalam kitab Ayub merupakan persoalan yang universal, yang bukan hanya terjadi di dalam kitab Ayub namun penderitaan seperti itu terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari dalam dewasa ini. Bullock dalam bukunya menuliskan kitab Ayub secara teologis permasalahan utama dalam kitab Ayub adalah persoalan kejahatan dan dikembangkan kedalam dua kutub yaitu kedalam ranah Keadilan Allah, kejujuran dan ketulusan orang benar yang di dalamnya terkandung persoalan lain yaitu misteri kejahatan kemakmuran orang jahat, dan penderitaan orang benar. Bullock mengutip hasil penelitian dari Kaufmann yang menyatakan dampak pertanyaan yang lebih besar dari konsekuensi tidak logis yang terjadi seperti dalam kitab Ayub. Pertanyaannya adalah apakah di dunia ini benar-benar ada suatu tatanan moral? [19] Sementara Brueggeman dalam bukunya mengatakan bahwa Tuhan melakukan “teologi Lazim” yakni kecondongan TUHAN mengharuskan satu tatanan (moral, politik atau yang lain) menjamin sistem manfaat dari tatanan itu dengan keras memberikan hukuman yang keras kepada orang yang melecehkan tatanan itu.[20] Dengan melihat dari pendapat Brueggeman yang memberikan penghukuman kepada orang yang melecehkan tatanannya, secara otomatis sifat Allah yang adil akan memberikan pembalasan yang sesuai dengan tatanan moral yang sudah ditetapkan. Namun pada kenyataannya dalam kisah Ayub tatanan tersebut sepertinya tidak berlaku, maka pertanyaan yang muncul seperti dalam tulisannya Bullock adalah ketika Keadilan Allah berbenturan dengan kebenaran manusia, apakah ada penyelesaiannya?[21]
Kitab Ayub dituliskan untuk mengetahui dan menyelidiki Keadilan Allah di mana penderitaan yang ekstrem terjadi kepada orang yang hidupnya benar. Dampak dari ketidakadilan yang ia rasakan memunculkan pertanyaan kepada Allah dalam bentuk protes. Bentuk pertanyaan atau protes Ayub sangat terlihat di dalam Ayub 9; 10; 19; 21; 30, 28; 6, 22, seruan yang menyatakan kebosanan hidupnya karena apa yang dia alami. Seruan Ayub tidak mendapatkan respon dari Tuhan, Ayub menganggap bahwa semuanya sama karena akan binasa. Suatu kewajaran pertanyaan yang ayub pertanyakan atas penderitaan yang ia alami.
Pertanyaan mengenai penderitaan atau kejahatan yang berdampak kepada penderitaan itu merupakan pertanyaan klasik yang selalu menarik untuk dipertanyakan. Keadaan di mana seseorang mengalami suatu hal yang sangat menyakitkan yang tidak sedikit menyebabkan keruntuhan iman. Mempelajari teodise secara singkat dan sederhana seperti penjelasan di atas tidak akan lengkap jika kita tidak meninjau Allah dari sudut kehamakuasaan-Nya dan ketidak terbatasannya Allah. Di sini penulis tidak beruhasa menjadi super hero kesiangan yang berusaha membela Allah terhadap tuduhan atau kecurigaan manusia yang mengalami penderitaan yang begitu luar biasa, namun  sangat tidak adil jika kita hanya melihat dari sudut pandang kita saja dalam melihat  penderitaan yang terjadi. Pertanyan yang keluar dari diri kita terhadap penderitaan itu sangat wajar, namun itu tidak menjadikan kita egois untuk mengabaikan aspek lain atau mengabaikan hal besar yang kita peroleh dari apa yang kita alami. Karena ada ungkapan yang mengatakan “jika ingin mengambil mutiara jangan melihat kulit kerangnya”. Diperlukan sudut pandang yang berbeda dalam melihat penderitaan yang terjadi, kita harus rendah hati dengan melepas terlebih dahulu kaca mata argumen kita.
Kaca mata Sudut pandang yang  harus digunakan adalah sudut pandang dari Alah sebagai Pribadi yang dalam hal ini sedang kita “adili” mengenai teodise yang ada. Dalam sudut pandang yang kita gunakan saat ini kita memiliki satu kata kunci yaitu “kedaulatan”, kata kunci yang akan membawa kita kepada pemahamand yang baru, tentu kita perlu menyediakan tenpat sedikit saja  di dalam gelas pikiran kita untuk bisa menerima pemahaman ini, jika kita paksakan gelas pikiran kita yang masih penuh dengan pemikiran lama kita maka akan sia-sia anda menghabiskan waktu membaca tuliisan ini, setidaknya tuangkan setengah terlebih dahulu pemikiran yang sudah dibangun dalam pikiran itu.kata  “Kedaulatan” Allah memberikan posisi dimana Allah adalah nilai tertinggi di dalam dan di atas alam semesta dengan kemutlakan itu maka Allah itu adalah mutlak, kekal dan tidak terbatas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Allah adalah ya ng tertinggi di atas segalanya, sehingga selain dari pada Allah sifatnya adalah fana.
Kedaulatan Allah tidak hanya sekedar berbicara mengenai Allah memiliki kuasa dan hak untuk mengatur semua hal, tetapi bahwa Allah memang mengatur segala  segala hal, demi kebijaksanaan dan maksud-Nya yang kudus. Seorang Teolog dan Hmaba Tuhan yanng bernama John Piper membagi 10 bagian kedaulatan Allah atas penderitaan: [22]
 1. Allah berdaulat atas pemerintahan Iblis atas dunia didelegasikan
Penderitaan yang karena kejahatan tidak terlepas dari seizin Tuhan dan keterlibatan Iblis yang memiliki kuasa dalam melakukan banyak hal di bumi ini (Yoh 12:31, 14:30, 16:11, Ef. 2:2), dengan menggerakan orang-orang yang dapat melakukan kejahatan terlebih orang-orang yang memiliki kekuasaan yang dapat menggunkan kekuasaan itu untuk kejahatan ( contoh: pembantaian oleh Hitler,dll) . Namun Alkitab dengan jelas menyatakan Tuhan memiliki kuasa atas penguasa-penguasa  atas bangsa-bangsa dan terlebih lagi atas kekuasaan Iblis yang menggerakan pemeritahan zalim untuk melakukan kejahatan (Mz. 33:10-11). Segala sesuatu tidak akan dapat terjadi tanpa seizin Tuhan dan tanpa rencana Tuhan yang berdaulat.
2.  Allah berkuasa Atas malaikat-malaikat Iblis (Setan-setan dan Roh-Roh Jahat)
Setan-setan atau Roh jahat itu nyata dan tertulis di dalam alkitab (Mat. 8:31, Yak. 2:19, Mat. 10:1, Luk. 7:21, Mat. 25:41). Bukti kedaulatan Allah atas para  malaikat-malaikat Iblis (Setan-setan dan Roh-Roh Jahat) sangat jelas terlihat dalam Matius 8:29-32. Peristiwa di mana ada seorang lelaki yang kerasukan ribuan setan, ungkapan dari roh-roh jahat itu memberikan bukti mengenai kekuassaan Tuhan atas mereka, “ apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Ada kah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?” pernyataan mereka menunjukan bahwa ada waktu tertentu yang sudah pasti di mana mereka akan di siksa sesudah waktunya. Yesus hanya menggunakan kata “pergilah” maka semua roh jahat itu taat kepada-Nya dan pergi meninggalkan mereka. Sangat nyata kedaulatan Allah atas malaikat-malaikat Iblis (Setan-setan dan Roh-Roh Jahat).
3. Allah berkuasa atas tangan Iblis di dalam Penganiayaan
            Rasul Petrus menggambarkan penderitaan itu seperti rahang singa yang mencoba menelan dan menghancurkan iman orang-orang percaya kepada Kristus. Alkitab memberikan jawaban mengenai penderitaan itu dibawah kehendaknya Allah, 1 Petrus 3:17, menjelaskan jika kita menderita karena berbuat baik itu adalah hal yang dikehendaki Allah memberikan pengertian jika saat kita berbuat baik kita mengalami penderitaan itu karena kehendak Allah maka kita akan menderita, jika kita berbuat baik Allah tidak menghendaki menderita maka kita tidak akan menderita. Maka dapat dikatakan bahwa penentunya adalah kehendak Allah, bukan harang singa yang mengaum tersebut.
4. Allah berkuasa atas kuasa Iblis untuk mengambil hidup
             Iblis memuliki kuasa untuk membunuh manusia, Yohanes 8:44 ada kalimat yang menyatakan “Iblis adalah pembunuh manusia sejak semula”, wahyu 2:10 “Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antara mu ke dalaam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari, hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepada mahkota kehidupan. Namun di atas segalanya itu tidak ada yang hidup dan tidak ada yang mati tanpa keputusan  kedaulatan Allah (Ul. 32:39). Tidak ada dewa, tidak ada setan, tidak ada Iblis yang dapat melempar seseorang ke dalam kematian jika Allah menghendaki orang tersebut hidup (1 Samuel 2:6))
Allahlah memberikan keputusan akhir mati hidupnya manusia bukan Iblis. Hidup kita semata-mata ada dalam tangan-Nya bukan dalam tangan Iblis. Allah berdaulat atas kuasa Iblis untuk mengambil hidup.
5. Allah berkuasa atas tangan Iblis di dalam bencana Alam
            Berbagai bencana alam terjadi itu semua tidak terlepas dari campur tangan Iblis yang mendapat Izin Tuhan, sebagaimana kisah Ayub (Ayb. 1:11-12). Tanpa seizin Tuhan maka Iblis tidak akan pernah bisa melakukan itu semuanya. Bukti kuat yang menyatakan kekuasaan itu adalah milik Allah terlihat dari ungkapan Ayub yang menyatakan Tuhan memberi dan Tuhan menngambil terpujilah nama Tuhan, sangat jelas hanya Tuhan yang berdaulat bukan Iblis. Allah sebagai penguasa dari alam semesta ini tidak dapat diragukan lagi, bagaimana Yesus menghardik air danau yang mengamuk menjadi teduh dengan dua kata, “diam dan tenanglah” (Mrk. 4:39; Mzm. 135:5-7; 148:7).
6. Allah berkuasa atas kuasa Iblis untuk mendatangkan penyakit
            Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Iblis dapat menimbulkan penyakit. Kis 10:38 menjelaskan kuasa Tuhan atas orang sakit dan menjelaskan tentang Iblis menguasai orang sakit. Dalam lukas 13:16 mengisahkan tentang seorang perempuan yang bongkok delampan belas tahun diikat oleh Iblis. Dengan demikian tidak ada salah nya jika kita katakan bahwa Iblis penyebab banyak penyakit. Yang harus kita yakini adalah bahwa Iblis tidak berdaulat atas penyakit kita. Kita Ayub memberikan pelajaran bagi kita saat Iblis menghadap yang kedua kalinya, Izin Tuhanlah yang menjadi akses masuk Iblis untuk menyerang tubuh Ayub dengan penyakit (Ayb.2:7). Keberdaulatan Tuhan tidak akan pernah di bandingan dengan apapun, Iblis yang memiliki banyak rancangan jahat terhadap manusia tidak akan pernah dapat terwujud tanpa izin Tuhan.
            7. Allah berkuasa atas penggunaan Binatang dan Tumbuh-tumbuhan oleh Iblis
            Iblis yang digambarkan sebagai binatang seperti singa dalam 1 Petrus 5:8, sebagai seekor naga dalam Wahyu 12:9, kisah dalam kejadian 3 membuktikan bahwa Iblis ddapat menggunakan binatang-binatang ataupun tumbuhan. Binatang-binatang yang dapat menyebabkan kematian yang dapat menyebarkan penyakit. Kekuasaaan tertinggi tetap dipegang oleh Tuhan dalam hal ini Iblis hanya pribadi yang menumpang menggunakan ciptaan Tuhan untuk tujuannya. Namun Iblis tidak dapat membuat mereka melakukan sesuatu yang dilarang Tuhan untuk dilakukan. Lewiatan yang digunakan Allah bermain-main dalam laut (Mzm. 104:26), nyamuk-nyamuk kecil menyerbu seluruh Mesir (Kel. 8:16-17). Dalam kisah Yunus yang di telan ikan besar karena penentuan Allah (Yu. 1:17) dan dimuntahkan oleh ikan itu (Yun 2:10), penentuan Tuhan mengenai pohon jarak dan ulat (Yun 4:6-7), semuanya taat akan penentuan Tuhan. Iblis mungkin dapat mencuri kesempataan dalam hal ini, namun Allahlah yang memiliki kedaulatan.
            8. Allah berkuasa atas godaan Iblis untuk berbuat dosa
            Banyak penderitaan kita datang dari  dosa orang lain terhadap kita, dan dari dosa kita sendiri. Iblis di sebut sebagai pencoba dan penggoda (Mat. 4:3; 1 Tes 3:5) terlihat dari awal manusia digoda oleh Iblis (Kej 3:14-19; Rm. 8:21-23). Penyaliban yang Yesus alami itu bukan tanggung jawab Iblis yang merasuki Yudas untuk menjualnya itu semuanya adalah penggenapan yang harus terjadi (Kis. 1:16;Kis 2:23), Allahlah yang bertanggung jawab atas penyaliban Yesus. Dalam penyangkalan Petrus terhadap Yesus Iblis terlibat di dalamnya, namuan Yesus memberikan batasan kepada Iblis untuk tidak terlalu jauh bertindak, doa Yesus untuk Petrus supaya Iman Petrus tidak gugur, bukti kedaulatan penuh Yesus terwujud dari kalimat “kamu akan jatuh  tapi tidak akan tergeletak”. Kembali lagi Allah yang berdaulat.
9. Allah berkuasa atas kuasa Iblis untuk pembutaan Pikiran
            Penderitaan yang paling buruk dari semua adalah penderitaan kekal di neraka, dan Iblislah yang sudah seharusnya mengalami itu (Why. 20:10). Dengan demikian maka sasaran dia adalah membawa orang sebanyak-banyaknya kesana. Karena Injil merupakan kekuatan Allah untuk menyelamatkan maka Iblis berusaha membutakan orang terhadap Injil. Sebagiman yang dikatakan dalam surat 2Korintus 4:4, ada orang-orang yang pikirannya dibutakan oleh ilah-ilah jaman (Iblis), ini merupakan senjata Iblis yang sangat berbahaya dan sangat efektif membawa banyak orang ke neraka, dalam 2 ayat selanjutnya digambarkan kuasa Allah untuk menghapus kebutaan yang berdaulat atas kuasa Iblis yang membutakan itu. Penyelamatan dalam keberdosaan sebagai wujud belaskasihn Allah kepada kita, Injil menjadi sarana untuk membukakan kebutaan kita, terwujud otoritas kedaulatan Allah yangb memberikan kehidupan dan penglihatan. Iblis adalah musuh yang sangat mengerikan terhadap Injil. Tapi Iblis tidak berdaulat  Allahlah yang berdaulat.
            10. Allah  berkuasa atas jerat Rohani Iblis
            Iblis memperbudak manusia dalam dua cara yaitu: pertama,  dengan kesengsaraan dan penderitaan, yang membuat kita berpikir bahwa tidak ada Allah yang layak dipercaya. Kedua adalah dengan kesenangan dan kemakmuran, yang membuat kita berpikir kita sudah memiliki semuanya sehingga tidak ada Allah yang relevan. Kita harus mengakui Allah itu baik, kita harus mengakui bahwa kesenangan dan kemakmuran hidup tidak sebanding dengan nilai Allah. Pertobatan merupakan jalan untuk terhindar dari jerat Iblis. Namun Iblis akan berusaha menghalangi itu. Tuhan akan memberikan kesempatan untuk orang bertobat (2 Tim 2:24-26)  ini merupakan bentuk dari kedaulatan Tuhan yang tidak dapat dilawan oleh Iblis jika Tuhan sudah memberikan pertobatan. Kita akan terlepas dari jerat si jahat karena kedaulatan Tuhan.
            Keterkaitan teodise dengan kedaulatan Allah sangat erat. Pertanyaan besar mengenai ketidak adilan seperti yang Ayub rasakan (Ay.10) dan beberapa tokoh Alkitab seperti Yeremia (Yer. 12:1), Habakuk (Hab.1:12-13) dan Pemazmur (Mzm 73) dan orang-orang benar dan beriman di sepanjang masa. Ketidak adilan yang mereka rasakan tersebut sesungguhnya menunjukkan Keadilan Allah itu sendiri. Bukti dari keadilan Allah yang mutlak itu adalah pemeliharaan Allah kepada orang yang mengalami penderitaan tersebut dari pemeliharaan Allah di dalam ketidak adilan membuktikan sifat Allah yang adil. Kekonsistenan Allah diwujudkan dengan tetap membedakan mana yang benar dan mana yang salah, akan tetap dinyatakan siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku pelanggaran, yang mendakwa dan yang terdakwa. Kemutlakan dan kekonsistenan sifat Allah dalam Keadilan, dengan demikian dibuktikan oleh Allah dengan cara membenarkan, memperbaiki, memulihkan, dan menegakan Keadilan yang manusia anggap suatu ketidak adilan. Sekalipun penderitaan diizinkan Tuhan terjadi kepada orang benar, baik melalui kejahatan, kesakitan, ataupun bencana alam, namun penderitaan itu tidak akan membinasakan melainkan orang benar akan hidup dengan keyakinannya di bawah naungan Keadilan Allah. Penderitaan dan ketidak adilan yang dirasakan orang-orang benar seperti Ayub, Habakuk, Yeremia dan pemazmur atau orang-orang benar pada masa sekarang ini disertai dengan karya penyelamatan Allah bagi mereka.[23]
Tindakan Allah dalam Keadilan yang Ia lakukan menekankan kebenaran-Nya dalam kekudusan-Nya untuk memberikan pengertian kemahatinggian dan ketidak terbatasan Allah kepada umat manusia. Penderitaan orang benar dalam Keadilan Allah juga menjadi penderitaan bagi Allah, Sebagaimana penderitaan yang Yeremia alami menjadi pencerminan solidaritas Allah kepada umat-Nya. Penderitaan Yeremia harus menjadi ibarat tentang penderitaan Allah, yang karena Keadilan-Nya umat Allah harus mengalami tragedy yang menyakitkan.[24] Hal ini membuktikan bahwa Allah tetap menyertai umat-Nya di dalam penderitaan. Kekudusan Allah tidak dapat dibandingkan dengan apapun, ukuran kualitas moral tidak dapat menjadi ukuran kekudusan Allah karena kekudusan-Nya berkaitan dengan kemuliaan-Nya dalam melakukan segala sesuatu. Dalam kekudusan Allah, Ia tidak ada kompromi dengan hal-hal diluar dari sifatnya, termasuk tidak kompromi dengan kejahatan yang menyebabkan penderitaan orang benar.





[1] Hill, Survei Perjanjian Lama, 420.
[2] Perdian K.M. Tumanan, Masalah Dalam Kejahatan (Veritas:  Jurnal dan Pelayanan, 2009), 171-187.
[3] John M. Frame, Sebuah Pengantar: Apologetika Bagi Kemuliaan Allah (Surabaya: Penerbit Momentum, 2011), 191.
[4] Robert John Ackermann,  Agama Sebagai Kritik: Analisis Eksistensi Agama-Agama Besar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 18.
[5] Meister, C. V, Introducing Philosophy of Religion (New York: Routledge, 2009), 129.
[6] Timothy Keller, Rasio bagi Allah (Surabaya: Momentum,2008), 40.
[7] Roland H. Nash, Iman dan Akal budi (Surabaya: Momentum,2001), 727.
[8] John M. Frame, Sebuah Pengantar: Apologetika Bagi Kemuliaan Allah (Surabaya: Momentum, 2011), 192.
[9] Ronald H. Nash, Usaha Mencari Iman yang Rasional: Iman dan Akal Budi (Surabaya: Momentum, 2007), 273.
[10] Alvin C. Plantinga,  Allah, Kebebasan, dan Kejahatan (God, Freedom, and Evil), (Surabaya: Momentum, 2003), 3.
[11] Shimon Bakon, http://www.jbq.jewishbible.org//library/journal/assets/Uploads/303/303_SUFFER30 (Diakses pada tanggal 8 March 2016 pukul 16:08)
[12] Pdt.Dr. Martinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 110.
[13] G. Johannes Botterweck, Theological Dictionary of The Old Testament Vol. IV (Grand Rapids: Michigan Cambridge, 1988), 87.
[14] B. Johnson, mišp̠āṭ (מִשְׁפָּט (Mišp̠āṭ) ), šep̠̠̠̠̱̱eṭ (שֶׁפֶט), dalam Theological Dictionary of The Old Testament Volume IX, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2003), 87-89.
[15] Genhard von Rad, Old Testament Vol I: The Theology Of Israel’s Historical Traditions (London:Harpes & Row, Publishers, 1962), 370-371.
[16] Wright Kuiper, Perjanjian Lama Terhadap Sekitarnya, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995), 137.
[17] Robert Gordis, The Book Of God and Man: A Study Of Job (London: Chicago Press, 1965),136.
[18] Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama, 101.
[19] C. Hassel Bullock, Kitab – kitab Puisi dalam Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2014), 90.
[20] Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan , 433.
[21] Bullock, Kitab – kitab Puisi dalam Perjanjian Lama, 91.
[22] John Piper dan Justin Taylor, Penderitaan dan Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum,2012),11-24.
[23] Dr. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama ( Bandung: Bina Media Informasi, 2009), 58.
[24] Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama, 101