Sabtu, 15 Juli 2017

Etika Nikomachea dan Tujuan hidup untuk kemuliaan Tuhan



Aristoteles dalam Karyanya yaitu Etika Nikomakhea diwarnai  dengan gagasan –gagasan mengenai  arah,tujuan antara dan tujuan akhir setiap tindakan dan hidup manusia. Ada 4 unsur pertanyaan  untuk memahaminya yaitu sebab material (apa bahannya), sebab formal (untuk apa?), sebab efesien (siapa yang menyebabkan itu terjadi?), sebab Final (untuk apa sesuatu itu ada?). Pemikiran kita boleh hanya berhenti sebatas objek yang sudah ada, tidak bermaksud untuk memvonis namun jika boleh jujur terkadang manusia cepat mengambil keputusan atas  realitas yang ada. Kita harus memahami realitas yang ada dari berbagai sudut pandang yang ada, untuk apa realitas tersebut? Kemana arah realitas tersebut?, ada maksud apa dari realitas tersebut? Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki tujuan oleh karena itu pentingnya pemahaman yang tidak hanya sekedar berhenti di ranah realita dan fisik saja maksud dan tujuan dari realita itu layak diselidiki sebagaimana pentingnya menyelidiki realita fisik.
Sebagai manusia sudah seharusnya dalam dirinya memiliki kesadaran akan maksud dan tujuan, karena manusia berbeda dengan mahkluk hidup lainnya, dalam diri mahkluk hidup lain (selain manusia) tidak memiliki sadar sadar tujuan sekalipun dalam mahkluk hidup tersebut memiliki tujuan namun mereka tidak sadar.  
Dalam baris pertama dari Etika Nikomakhea Aristoteles menegaskan bahwa di dalam setiap seni, penelitian, tindakan, kita mengarah kepada sesuatu yang baik. Aristoteles mengatakan “jika saya melakukan sesuatu demi mencapai tujuan tertentu dan kemudian mengarah ke tujuan lainnya dan setelah tercapai berusaha mencapai tujuan lalin lagi tanpa ada tujuan tertinggi yang ada di dalam pikiran saya, saya hanya akan terus berputar-putar pada satu lingkaran. Semua tujuan kecil yang saya perjuangkan harus mengarah kepada tujuan tertinggi yang disebut dengan kebaikan”. Saat tujuan yang dilakukan hanya berhenti untuk pemuasan diri sendiri maka yang diperoleh hanya kekosongan tanpa arti.
Tujuan akhir yang dimaksud oleh Aristoteles adalah kebaikan manusia sendiri, kebaikan tertinggi manusia itu adalah kebahagiaan yang didefinisikan sebagai tindakan jiwa yang selaras dengan keutamaan sempurna. Bagi Aristoteles kebahagiaan sebuah tindakan yang terkait dengan apa yang terbaik dalam diri kita yaitu keutamaan tertinggi yang  mengarah kepada kebahagiaan dan terlebih kebahagiaan yang sempurna. 
                        Penjelasan singkat diatas memberikan kontribusi suatu pemahaman mengenai segala sesuatu memiliki tujuan yang paling tinggi. Hasil pemikiran dari Aristoteles dalam menjadi refrensi tambahan untuk memahami tujuan hidup. Sebagai seorang Kristen yang memiliki  keyakinan pemikiran dari aristoteles tidaklah mengecilkan otoritas Firman Tuhan yang ada dalam alkitab. Namun dengan secara rendah hati kita tidak juga menyalahkan atau menyudutkan  pandangan dari Aristoteles, kita bisa menggunakan jalan tenangah untuk memperoleh tujuan yang tertinggi dari masing-masing pandangan terlebih lagi dari sudut pandang kekristenan.       
            Dalam keyakinan KeKristenan segala sesuatu semuanya diawali dengan Allah. Jika Aristoteles memiliki pandangan bahwa memulai tujuan itu dari diri sendiri, keKristenan memulai segala sesuatunya dengan Allah. Tujuan hidup manusia jauh lebih besar dari tujuan tertinggi manusia yaitu kebaikan manusia (kebahagiaan), manusia dilahirkan oleh tujuan-Nya dan untuk tujuan-Nya. Alkitab sangat jelas menuliskannya dalam Kolose 1:16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. (Col 1:16 ITB).
Sangat penting menempatkan Allah di awal pemikiran kita berkaitan tentang segala sesuatu, seorang atheis bernama Bertrand Russel mengungkapkan “sebelum anda memikiran Allah, pertanyaan tentang tujuan hidup tidaklah berarti. Oleh karena itu sangat penting memusatkan pemikiran kita kepada Allah. Jika melirik dari 4 unsur pertanyaan  dari Aristoteles yaitu sebab material (apa bahannya), sebab formal (untuk apa?), sebab efesien (siapa yang menyebabkan itu terjadi?), sebab Final (untuk apa sesuatu itu ada?) maka jawaban dari itu semua tertuju kepada Tuhan. Manusia tidak akan bisa mencapain tujuan tertinggi jika memulai dari diri sendiri, kita harus memulainya dari Allah, pencipta manusia, karena Allah menghendaki manusia ada maka manusia ada. Manusia dijadikan Allah untuk Allah bukan sebaliknya Allah untuk manusia, dengan demikian sudah pasti hidup manusia digunakan Allah untuk tujuan-Nya, bukan menggunakan Allah untuk tujuan sendiri. Jika manusia tidak memahami bahwa manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah maka manusia tidak akan memahami kehidupan. Sebuah barang diciptakan tentu memiliki tujuan mengapa barang tersebut diciptakan, untuk mengetahui apa tujuan barang tersebut diciptakan maka kita bisa bertanya kepada sang penciptanya untuk apa barang tersebut diciptkan. pertanyaan apa tujuan manusia diciptkan jawabannya ada pada Allah sang pencipta manusia. Allah memiliki jawabannya karena Allah tidak akan meninggalkan manusia di dalam kegelapan untuk bertanya-tanya. Allah bukan sekedar titik awal dalam kehidupan manusia, tapi Dia sumber kehidupan. Jika menurt Aristoteles manusia harus memiliki tujuan akhir tertinggi dalam kehidupan, maka keKristenan memiliki tujuan tertingginya yaitu Allah, di dalam Allah ada segalanya kebahagiaan, damai sejahterah, dan hal baik lainnya. Saat Allah menjadi tujuan tertinggi kehidupan manusia maka yang diperoleh manusia tidak hanya bersifat sementara dibumi ini saja namun sifatnya kekal. Apa yang di bumi ini hanya sebuah gladi bersih, bumi adalah daerah persiapan, pra sekolah, uji coba bagi kehidupan manusia di kekalan. Sir Thomas Browne mengatakan, bumi hanya tanda kurung kecil di dalam kekekalan. Tujuan Allah menciptakan manusia serupa dan segambar dengan Allah memiliki tujuan kekelan (Pkh. 3:11). Jika pemahaman tujuan kita salah di bumi maka hanya ada dua pilihan di kekekalan yaitu surga atau neraka. Hubungan manusia dengan Allah di bumi akan menentukan hubungan manusia Allah di kekekalan.
Hidup dengan tujuan adalah satu-satunya cara untuk sungguh-sungguh hidup, namun tujuan yang bagaimana? Tujuan untuk siapa? Apakah tujuan itu hanya berpusat kepada diri sendiri (egosentris) atau kepada Allah (theosentris). Dasar yang tepat menjadikan tujuan yang tepat, saat dasar dari tujuan hidup kita adalah Tuhan maka tujuan hidup kita adalah Tuhan. Tujuan yang harus kita capai dalah tujuan-tujuan yang Allah tentukan bagi kita, sebuah ungkapan yang sangat indah dari William Carey yaitu “masa depan adalah secerah janji-janji Allah, bila memenuhi tujuan-tujuan anda terasa berat, jangan menyerah pada perasaan putus asa. Ingatlah ada upah anda yang berlangsung kekal”. Pusatkan kepada tujuan-tujuan Allah dalam kehidupan kita, bukan rencana-rencana kita karena tujuan kita adalah menyenangkan Allah bukan manusia (diri sendiri). Menempatakan Yesus sebagai pusat hidup kita sebagai pusat dari segala tujuan hidup kita, rencana kita menjadi sarana pendukung untuk kita mencapai tujuan kepada tujuan tertinggi yaitu kepada Tuhan.
Sumber :
Warren Rick, 2012, the purpose driven life,Malang:Gandum Mas
Garvey james, 2010, 20 Karya filsafat terbesar,Yogyakarta: Kanisius
Berbagai sumber