Aristoteles
dalam Karyanya yaitu Etika Nikomakhea diwarnai
dengan gagasan –gagasan mengenai
arah,tujuan antara dan tujuan akhir setiap tindakan dan hidup manusia.
Ada 4 unsur pertanyaan untuk memahaminya
yaitu sebab material (apa bahannya),
sebab formal (untuk apa?), sebab efesien (siapa yang menyebabkan
itu terjadi?), sebab Final (untuk
apa sesuatu itu ada?). Pemikiran kita boleh hanya berhenti sebatas objek yang
sudah ada, tidak bermaksud untuk memvonis namun jika boleh jujur terkadang
manusia cepat mengambil keputusan atas
realitas yang ada. Kita harus memahami realitas yang ada dari berbagai
sudut pandang yang ada, untuk apa realitas tersebut? Kemana arah realitas
tersebut?, ada maksud apa dari realitas tersebut? Segala sesuatu yang ada di
dunia ini memiliki tujuan oleh karena itu pentingnya pemahaman yang tidak hanya
sekedar berhenti di ranah realita dan fisik saja maksud dan tujuan dari realita
itu layak diselidiki sebagaimana pentingnya menyelidiki realita fisik.
Sebagai
manusia sudah seharusnya dalam dirinya memiliki kesadaran akan maksud dan
tujuan, karena manusia berbeda dengan mahkluk hidup lainnya, dalam diri mahkluk
hidup lain (selain manusia) tidak memiliki sadar sadar tujuan sekalipun dalam
mahkluk hidup tersebut memiliki tujuan namun mereka tidak sadar.
Dalam
baris pertama dari Etika Nikomakhea Aristoteles menegaskan bahwa di dalam
setiap seni, penelitian, tindakan, kita mengarah kepada sesuatu yang baik.
Aristoteles mengatakan “jika saya melakukan sesuatu demi mencapai
tujuan tertentu dan kemudian mengarah ke tujuan lainnya dan setelah tercapai
berusaha mencapai tujuan lalin lagi tanpa ada tujuan tertinggi yang ada di
dalam pikiran saya, saya hanya akan terus berputar-putar pada satu lingkaran.
Semua tujuan kecil yang saya perjuangkan harus mengarah kepada tujuan tertinggi
yang disebut dengan kebaikan”. Saat tujuan yang dilakukan hanya
berhenti untuk pemuasan diri sendiri maka yang diperoleh hanya kekosongan tanpa
arti.
Tujuan
akhir yang dimaksud oleh Aristoteles adalah kebaikan manusia sendiri, kebaikan
tertinggi manusia itu adalah kebahagiaan yang didefinisikan sebagai tindakan
jiwa yang selaras dengan keutamaan sempurna. Bagi Aristoteles
kebahagiaan sebuah tindakan yang terkait dengan apa yang terbaik dalam diri
kita yaitu keutamaan tertinggi yang
mengarah kepada kebahagiaan dan terlebih kebahagiaan yang sempurna.
Penjelasan singkat
diatas memberikan kontribusi suatu pemahaman mengenai segala sesuatu memiliki
tujuan yang paling tinggi. Hasil pemikiran dari Aristoteles dalam menjadi
refrensi tambahan untuk memahami tujuan hidup. Sebagai seorang Kristen yang
memiliki keyakinan pemikiran dari
aristoteles tidaklah mengecilkan otoritas Firman Tuhan yang ada dalam alkitab.
Namun dengan secara rendah hati kita tidak juga menyalahkan atau
menyudutkan pandangan dari Aristoteles,
kita bisa menggunakan jalan tenangah untuk memperoleh tujuan yang tertinggi
dari masing-masing pandangan terlebih lagi dari sudut pandang kekristenan.
Dalam keyakinan KeKristenan segala
sesuatu semuanya diawali dengan Allah. Jika Aristoteles memiliki pandangan
bahwa memulai tujuan itu dari diri sendiri, keKristenan memulai segala
sesuatunya dengan Allah. Tujuan hidup manusia jauh lebih besar dari tujuan
tertinggi manusia yaitu kebaikan manusia (kebahagiaan), manusia dilahirkan oleh
tujuan-Nya dan untuk tujuan-Nya. Alkitab sangat jelas menuliskannya dalam
Kolose 1:16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu,
yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak
kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa;
segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. (Col 1:16 ITB).
Sangat
penting menempatkan Allah di awal pemikiran kita berkaitan tentang segala
sesuatu, seorang atheis bernama Bertrand Russel mengungkapkan “sebelum anda
memikiran Allah, pertanyaan tentang tujuan hidup tidaklah berarti. Oleh karena
itu sangat penting memusatkan pemikiran kita kepada Allah. Jika melirik dari 4
unsur pertanyaan dari Aristoteles yaitu sebab material (apa bahannya), sebab formal (untuk apa?), sebab efesien (siapa yang menyebabkan
itu terjadi?), sebab Final (untuk
apa sesuatu itu ada?) maka jawaban dari itu semua tertuju kepada Tuhan. Manusia
tidak akan bisa mencapain tujuan tertinggi jika memulai dari diri sendiri, kita
harus memulainya dari Allah, pencipta manusia, karena Allah menghendaki manusia
ada maka manusia ada. Manusia dijadikan Allah untuk Allah bukan sebaliknya
Allah untuk manusia, dengan demikian sudah pasti hidup manusia digunakan Allah
untuk tujuan-Nya, bukan menggunakan Allah untuk tujuan sendiri. Jika
manusia tidak memahami bahwa manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah maka
manusia tidak akan memahami kehidupan. Sebuah barang diciptakan tentu memiliki
tujuan mengapa barang tersebut diciptakan, untuk mengetahui apa tujuan barang
tersebut diciptakan maka kita bisa bertanya kepada sang penciptanya untuk apa
barang tersebut diciptkan. pertanyaan apa tujuan manusia diciptkan jawabannya
ada pada Allah sang pencipta manusia. Allah memiliki jawabannya karena Allah
tidak akan meninggalkan manusia di dalam kegelapan untuk bertanya-tanya. Allah
bukan sekedar titik awal dalam kehidupan manusia, tapi Dia sumber kehidupan. Jika
menurt Aristoteles manusia harus memiliki tujuan akhir tertinggi dalam
kehidupan, maka keKristenan memiliki tujuan tertingginya yaitu Allah, di dalam
Allah ada segalanya kebahagiaan, damai sejahterah, dan hal baik lainnya. Saat
Allah menjadi tujuan tertinggi kehidupan manusia maka yang diperoleh manusia
tidak hanya bersifat sementara dibumi ini saja namun sifatnya kekal. Apa yang
di bumi ini hanya sebuah gladi bersih, bumi adalah daerah persiapan, pra
sekolah, uji coba bagi kehidupan manusia di kekalan. Sir Thomas Browne
mengatakan, bumi hanya tanda kurung kecil di dalam kekekalan. Tujuan
Allah menciptakan manusia serupa dan segambar dengan Allah memiliki tujuan
kekelan (Pkh. 3:11). Jika pemahaman tujuan kita salah di bumi maka hanya ada
dua pilihan di kekekalan yaitu surga atau neraka. Hubungan manusia dengan Allah
di bumi akan menentukan hubungan manusia Allah di kekekalan.
Hidup
dengan tujuan adalah satu-satunya cara untuk sungguh-sungguh hidup, namun
tujuan yang bagaimana? Tujuan untuk siapa? Apakah tujuan itu hanya berpusat
kepada diri sendiri (egosentris) atau
kepada Allah (theosentris). Dasar yang
tepat menjadikan tujuan yang tepat, saat dasar dari tujuan hidup kita adalah
Tuhan maka tujuan hidup kita adalah Tuhan. Tujuan yang harus kita capai dalah
tujuan-tujuan yang Allah tentukan bagi kita, sebuah ungkapan yang sangat indah
dari William Carey yaitu “masa depan adalah secerah janji-janji Allah, bila
memenuhi tujuan-tujuan anda terasa berat, jangan menyerah pada perasaan putus
asa. Ingatlah ada upah anda yang berlangsung kekal”. Pusatkan kepada
tujuan-tujuan Allah dalam kehidupan kita, bukan rencana-rencana kita karena
tujuan kita adalah menyenangkan Allah bukan manusia (diri sendiri). Menempatakan
Yesus sebagai pusat hidup kita sebagai pusat dari segala tujuan hidup kita,
rencana kita menjadi sarana pendukung untuk kita mencapai tujuan kepada tujuan
tertinggi yaitu kepada Tuhan.
Sumber
:
Warren
Rick, 2012, the purpose driven life,Malang:Gandum
Mas
Garvey
james, 2010, 20 Karya filsafat terbesar,Yogyakarta:
Kanisius
Berbagai
sumber